Peristiwa erupsi Gunung Merapi yang terjadi Selasa (26/10) menarik perhatian dari berbagai pihak, termasuk televisi. Tak mengherankan jika stasiun televisi kemudian beramai-ramai menyiarkan program breaking news untuk memantau kondisi terkini yang datang dari atas Merapi. Beberapa stasiun televisi menampilkan hiruk-pikuk yang terjadi di rumah sakit ketika dokter sedang mengobati para korban erupsi Merapi.
Dalam salah satu adegan digambarkan bagaimana keadaan korban yang datang dengan darah yang menempel di sekujur tubuh. Ada juga adegan seorang ibu menangis terisak-isak karena anaknya meninggal dunia. Sementara dalam adegan yang lain diperlihatkan ketika tim SAR sedang mengevakuasi mayat yang ditemukan di sekitar rumah Mbah Maridjan. Adegan itu diikuti dengan narasi yang menyebutkan bahwa mayat-mayat korban erupsi bergelimpangan di jalan. Fakta-fakta tersebut diperlihatkan dengan gamblang bahkan terkesan vulgar.
Tidak hanya melalui satu gambar yang diputar berulang-ulang kali tetapi juga melalui pemilihan kata yang berlebihan. Sebagai contoh, sang reporter televisi ketika di rumah sakit mengatakan bahwa “banyak mayat-mayat bergelimpangan” sementara di sekelilingnya banyak korban yang masih merintih kesakitan. Reporter bahkan menggunakan kata “melarikan diri” alih-alih mengatakan bahwa warga “mengungsi”.Ada upaya untuk melakukan dramatisasi kejadian di medan bencana. Dalam wawancara dengan korban, reporter salah satu stasiun televisi swasta nasional bahkan secara bertubi-tubi bertanya kepada korban yang nampak kelelahan. Kondisi ini tentu menyalahi kode etik yang sudah ditentukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia.
Seperti yang sudah ditegaskan dalam pasal 59 Pedoman Perilaku dan Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS), ada empat hal yang harus diperhatikan media (terutama televisi) ketika menyiarkan bencana alam. Pertama, peliputan harus dilakukan dengan mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya. Artinya, dampak traumatik yang mungkin muncul sebagai akibat pemberitaan yang dilakukan harus diminimalisir oleh media.
Kedua, media dilarang menambah penderitaan korban bencana yang sedang dalam kondisi darurat dengan memaksa untuk diwawancarai dan diambil gambarnya. Ketiga, gambar korban hanya boleh diperlihatkan dalam konteks yang mendukung tayangan. Keempat, harus menghormati peraturan mengenai akses media yang dibuat oleh rumah sakit atau institusi medis lainnya.
Ahmad Arif dalam buku Jurnalisme Bencana Bencana Jurnalisme (2010) juga menegaskan bagaimana media tidak boleh mewawancarai narasumber yang tidak mau diwawancarai. Hal ini diakibatkan setiap orang yang berada di lokasi bencana berada dalam kondisi yang lelah, marah, frustasi, dan trauma. Penayangan bencana pun seharusnya tidak perlu didramatisir sebab para korban dan pemirsa lain boleh jadi trauma dengan gambar yang ditampilkan secara telanjang.
Penayangan yang berlebihan bahkan bisa memberikan perasaan jenuh kepada masyarakat di luar lokasi bencana. Alih-alih bersimpati kepada korban, yang terjadi justru muncul sikap acuh tak acuh dari masyarakat terhadap bencana. Tentu media harus berhati-hati sebab dalam sebuah bencana, upaya untuk menampilkan kisah duka korban begitu menggoda. Dalam peristiwa erupsi Merapi ini setidaknya beberapa televisi begitu sering menampilkan kisah meninggalnya mbah Maridjan dengan dramatisasi di sana-sini. Sementara kondisi korban di pengungsian terkadang luput dari pemberitaan. Tidak hanya itu, unsur dramatisasi ini membuat optimisme di tengah bencana begitu minim pemberitaan.
Artinya, tayangan maupun ulasan mengenai harapan dan optimisme menghadapi bencana perlu lebih mendapat tempat. Optimisme korban bencana adalah salah satu hal yang penting dalam upaya rekonstruksi pascabencana. Dengan optimisme, kerugian material yang sudah dialami tidak akan diperparah dengan rasa traumatik yang bisa diredam. Jurnalisme bencana memiliki tugas untuk menumbuhkan rasa optimisme warga ini.
Dalam konteks jurnalisme bencana, serpihan-serpihan fakta yang didapat tidak seharusnya langsung disajikan mentah-mentah kepada penonton. Sebab meski yang ditampilkan adalah fakta, namun tidak semua fakta dapat dijadikan sebagai berita. Ada pertimbangan-pertimbangan moral yang digunakan untuk mengukur sejauh apa fakta yang ada bisa ditampilkan kepada khalayak luas.
Di tengah kesimpangsiuran informasi yang akurat mengenai bencana yang terjadi, media memiliki tanggung jawab sosial untuk memberikan informasi akurat. Sehingga masyarakat tidak bertambah resah dan mampu memperoleh pelajaran dari bencana yang terjadi.
Wisnu Prasetya Utomo (Pemimpin Redaksi BPPM Balairung UGM)