Semua lapisan masyarakat menghendaki kesejahteraan dalam hidupnya.Ā Sebagai warga negara, tentu ada harapan dan kehendak agar hak-hak dasarnya dapat dipenuhi negara. Dalam konteks Indonesia, mewujudkan kesejahteraan bagi setiap warganya bukan sekedar cita-cita tapi merupakan janji dari kemerdekaan. Sejak rezim Orde Baru yang mengedepankan paham pembangunan berakhir, Indonesia memasuki fase baru. Reformasi digulirkan dengan harapan segenap ketimpangan sosial ekonomi pada masa Orde Baru dapat dientaskan pada babak baru ini.
Namun, nampaknya setelah 12 tahun reformasi bergulir, menciptakan kesejahteraan bagi segenap lapisan masyarakat masih sulit untuk diwujudkan. Hal ini dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada tahun 2009 yang berada pada posisi 111 dari 182 negara. Merosot dari posisi 107 pada tahun 2007. IPM yang secara jelas mengukur derajat pendidikan, kemampuan ekonomi, dan tingkat kesehatan menjadi tolak ukur seberapa baik derajat kesejahteraan. Meskipun data BPS menunjukkan penurunan penduduk miskin sebesar 1,51 juta penduduk menjadi 31,02 juta penduduk pada Maret 2010, faktanya penurunan kemiskinan tidak disertai dengan kenaikan IPM yang dari tahun ke tahun semakin turun.
Kesehatan, yang menjadi syarat utama produktifitas seringkali dinomorduakan. Perbandingan alokasi dana APBN untuk tahun 2010 misalnya, menempatkan sektor kesehatan jauh berada di bawah pendidikan. Padahal, sektor kesehatan memiliki segenap permasalahan yang menarik untuk ditelaah. Pelaksanaan desentralisasi kesehatan dimulai ketika UU No.22 tahun 1999 dikeluarkan. Euforia reformasi yang pada waktu itu sangat tinggi, menimbulkan perubahan ekstrim dari sentralisasi ke desentralisasi total. Hal ini menimbulkan masalah, terjadi perbedaan anggaran untuk kesehatan di berbagai daerah. Belum lagi, kebijakan desentralisasi yang semestinya dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang efisien dan merata bagi masyarakat tidak terwujud karena tidak didukung dengan kesiapan teknis seperti kurang koordinasi, kekurangan SDM, kegagalan sistem, dsb. Sehingga tidak mengherankan apabila kita melihat Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2009 masih 228 per 100 ribu, sangat tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lain. Belum lagi prevalensi kekurangan gizi sebesar 18,4 persen menjadikan sektor kesehatan penting untuk diprioritaskan.
Oleh karena itu, menurut penulis pemerintah perlu melakukan mengevaluasi secara terus menerus dan melakukan inovasi. Pertama, pemerintah wajib mewujudkan desentralisasi kesehatan yang efisien dan efektif. Penguatan lembaga pemberi pelayanan kesehatan dilakukan bersamaan dengan efisiensi dana serta kebijakan yang tepat sasaran. Masyarakat miskin harus dijamin oleh negara dengan cara memastikan Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) tersalurkan dengan tepat. Pembangunan infrastruktur seperti puskesmas dan rumah sakit ditingkatkan dengan tidak lupa melakukan berbagai pembenahan kualitas SDM.
Kedua, fungsi pemerintah sebagai regulator maupun fasilitator dengan cara meningkatkan partisipasi publik. Pihak swasta dirangkul sebagai mitra dan masyarakat dilibatkan. Program promosi kesehatan sebagai wujud dari paradigma mencegah diprioritaskan dengan melakukan edukasi pada masyarakat.
Peningkatan IPM Indonesia membutuhkan kebijakan yang padu dan komprehensif. Sektor kesejahteraan ekonomi rakyat harus berjalan beriringan dengan pembangunan pendidikan dan peningkatan derajat kesehatan. Terlalu lama jika kita hanya berpangku tangan menunggu hasil kerja nyata pemerintah, oleh karena itu dibutuhkan partisipasi publik yang proaktif untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan bagi setiap warga negara Indonesia.
Oleh: Giovanni vanĀ EmpelāPresiden Mahasiswa BEM FK UGM