Di penghujung kepengurusan akhir tahun 2010, BEM KM merencanakan berkunjung ke Malaysia akhir Oktober ini. Sekilas rencana ini menunjukkan kecerdasan membaca konteks zaman di mana jaringan internasional mutlak diperlukan gerakan mahasiswa saat ini. Konteks ketika dunia saat ini sedang menuju ke arahborderless state. Tentu saja fenomena globalisasi ini mutlak harus direspon oleh gerakan mahasiswa jika tidak ingin dilindas zaman. Namun di sisi lain, rencana ini jelas menunjukkan kegagapan dalam membaca diri sendiri. Mengapa?
Pasca reformasi 1998, banyak yang menganggap gerakan mahasiswa mengalami disorientasi. Apa yang dulu diperjuangkan justru menyerang balik. Wacana keterbukaan, kebebasan pers, demokrasi dan HAM, sampai kebebasan berpendapat justru membuat posisi mahasiswa terpojok. Mahasiswa kini tidak lagi menjadi satu-satunya saluran aspirasi kepentingan masyarakat. Bahkan, cenderung menjadi menara gading kampus. Menara gading yang hanya sibuk berkutat dengan teori-teori besar di kampus dan melupakan masyarakat sebagai basis awalnya.
Hermawan Sulistiyo (1999), mengajukan empat alasan utama gerakan mahasiswa mengalami disorientasi peran yang membuat mereka menjadi pahlawan kesiangan. Pertama, kerangka hukum bagi penanganan unjuk rasa melalui Undang-Undang (UU) No 9/1998. UU ini seolah-olah memberikan hak kepada masyarakat tentang kebebasan berpendapat. Namun, di sisi lain justru mempersempit ruang gerak serta memberikan legitimasi hukum yang cukup kuat bagi para penegak hukum untuk bersikap keras dan represif. Kedua, liberalisasi pers telah membuka koridor baru bagi kepentingan publik. Sehingga, gerakan mahasiswa tidak lagi menjadi satu-satunya sarana penyaluran aspirasi masyarakat. Bahkan, gerakan mahasiswa terkadang justru menjadi lawan masyarakat.
Ketiga, gerakan mahasiswa sampai pada titik jenuh. Hal ini diakibatkan siklus sejarah yang memberikan terulangnya situasi pasca lengsernya Soeharto. Hal ini ditambah dengan liberalisasi kampus sejak 1999 yang membuat biaya pendidikan di Indonesia semakin mahal. Tercatat, empat kampus (UGM, UI, ITB, IPB) yang menjadi salah satu poros bagi gerakan mahasiswa telah berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara. Kondisi ini menyebabkan banyak mahasiswa mengalami kesulitan untuk bertahan hidup di gerakan dan kuliah. Tuntutan lulus cepat membuat mahasiswa-mahasiswa kritis dan radikal berkurang.
Sementara itu yang keempat adalah terbukanya koridor politik melalui liberalisasi pembentukan partai-partai politik . Kondisi ini, membuat sebagian kalangan mahasiswa ikut terjebak dalam euforia politik formal serta hampir melupakan perannya sebagai gerakan moral. Faktor terakhir ini bahkan membuat banyak kampus tak lagi netral dan bersifat partisan.
Meminjam analisis yang disampaikan Hermawan tadi lah kita bisa melakukan pembacaan terhadap BEM KM saat ini. Dalam bahasa yang lebih singkat, BEM KM belum selesai dengan dirinya sendiri tapi sudah berani melangkah ke luar negeri untuk membangun gerakan di level internasional. Banyak gugatan yang bisa kita ajukan. Pertama, apa yang sudah dilakukan BEM KM dalam mengawal isu-isu kampus? Sebagai contoh, bagaimana kabar kebijakan Kartu Identitas Kendaraan (KIK) yang memunculkan isu parkir berbayar? Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa sejak Januari 2011 nanti semua kendaraan yang masuk UGM dan tidak bisa menunjukkan KIK akan dikenai tarif parkir.
Selain itu kita bisa mempertanyakan konsistensi lembaga ini dalam kebijakan-kebijakan yang lain. Rancangan Induk Pengembangan Kampus UGM 2005-2015 menjelaskan bagaimana rencana UGM untuk menutup Jalan Kaliurang akan dilakukan dalam tiga tahap. Kalaupun mahasiswa UGM tidak sepakat dengan rencana itu, apakah BEM KM yang selama ini mengaku sebagai representasi mahasiswa kampus biru telah melakukan pembahasan terkait kebijakan tersebut? Saya meragukan.
Kedua, apakah BEM KM sudah memberikan pelayanan kepada mahasiswa UGM selama kepengurusan tahun 2010 ini? Saya juga meragukan. Dalam kepengurusan yang sudah berjalan lebih dari 7 bulan ini BEM KM (dan KM) lebih sibuk dengan masalah internal yang terjadi. Pasti banyak yang mengingat bagaimana konflik antara Presiden Mahasiswa dengan Direktur Kemahasiswaan yang terjadi di awal tahun ini. Konflik yang berlarat-larat dan terlihat betul mengganggu kinerja lembaga.
Ketiga, apa peran lembaga ini selama setahun terakhir dalam hal pengabdian masyarakat? Tentu saja peran pengabdian menjadi penting sebab, mengutip Nugroho Notosusanto, sejak masih menuntut ilmu, mahasiswa Indonesia sudah dituntut sumbangan pikiran dan kepandaian, pengetahuan dan pertimbangan bagi bangsanya. Inilah peran kepemimpinan yang melekat dalam diri mahasiswa. Ia harus memiliki sumbangsih bagi rakyatnya. Sebagai komunitas intelektual mahasiswa tidak cukup hanya memiliki pemikiran rasional atau konseptual semata. Ini artinya BEM KM harus turun ke bawah. Namun, bisa kita lihat kecenderungan lembaga ini yang lebih sering menunjukkan aksinya dalam bentuk demonstrasi. Demonstrasi tentu sah-sah saja dilakukan, tapi ini berbahaya jika tidak diiringi agenda konkret karena sifat demonstrasi yang elitis dan politis.
Masih banyak gugatan-gugatan yang bisa kita ajukan terhadap lembaga ini. Namun, dari tiga hal tadi saya kira sudah cukup menjelaskan betapa saat ini kunjungan ke luar negeri seperti ke Malaysia belum terlalu mendesak untuk dilaksanakan. Apalagi kita sudah diberi pelajaran oleh kunjungan 27 BEM dan Dikti ke Belanda tahun lalu. Kunjungan yang terbukti tidak menghasilkan output apa-apa kecuali plesiran semata. Artinya, bukankah energi untuk pergi ke Malaysia bisa dialihkan dulu untuk menyelesaikan karut-marut yang masih terjadi di dalam negeri, bahkan di kampus? Apalagi masa kepengurusan BEM KM saat ini tinggal dua bulan. Entahlah. Jangan-jangan gejala kunjungan ke luar negeri yang menghinggapi anggota DPR RI sudah menular ke mahasiswa. Semoga tidak.
Oleh: Wisnu Prasetya Utomo—Pemimpin Redaksi BPPM Balairung UGM