Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) menggelar workshop fotografi. Acara yang bertema “Merapi Volcano Expo” ini berlangsung pada Minggu (1/7) lalu. Atas kerja sama dengan Pewarta Foto Indonesia (PFI), acara ini diselenggarakan di kantor BPPTK, Jalan Cendana 15 Yogyakarta.
Gelaran workshop fotografi oleh BPPTK ini merupakan rangkaian acara Volcano Expo. Selain workshop fotografi, terdapat juga lomba foto, lomba karya tulis dan lomba menggambar. “Workshop ini sengaja diletakkan di awal Expo dengan harapan dapat membekali peserta lomba foto nanti,” ungkap Subandriyo, Kepala BPPTK.
Selain bagian dari rangkaian Volcano Expo, workshop juga bertujuan untuk mendekatkan dan mengenalkan bencana melalui kegiatan fotografi. “Terakhir gunung Merapi itu difoto pada akhir abad 19. Oleh karena itu, kami bermaksud untuk mengenalkan pada masyarakat bahwa Merapi bukan gunung yang menakutkan seperti yang selama ini dibayangkan,” jelas Subandriyo ketika membuka workshop.
Workshop berlangsung pukul sembilan pagi hingga empat sore menghadirkan Sri Sumarti dari badan volkanologi sebagai pemantik. Selain itu hadir Bagus Kurniawan dari detik.com sebagai salah satu narasumber. Ia menjelaskan mengenai fotografi yang sudah menjadi gaya hidup sehingga orang cenderung memperhitungkan estetik. “Dalam jurnalistik, kecepatan mengambil gambar menentukan nilai sebuah foto. Oleh karena itu, jangan khawatir mengambil gambar dengan kamera saku karena merapi pun dapat diambil dengannya,” ujarnya.
Terkait dengan teknik-teknik dasar fotografi, panitia menghadirkan WS Pamungkas . Ketua PFI Jogja yang juga dosen Fotografi Institut Seni Indonesia ini memaparkan mengenai tiga hal penting dalam fotografi. “Kecepatan rana, bukaan diafragma dan penemu jarak atau fokus harus dikuasai. Apapun kameranya, tetap harus memperhatikan ketiga hal tersebut,” terangnya.
Di sesi terakhir, fotografi dibahas lebih mendetail. Mulai dari komposisi fotografi yang dipaparkan oleh Himawan, European Pressphoto Agency, hingga kebernilaian foto dalam jurnalistik oleh Dwi Oblo Prasetyo—Reuters yang juga kontributor National Geographic Indonesia. Menurut Himawan, pengambilan gambar bertema merapi tidak semestinya selalu bernuansa sedih dan tragis. “Warga sekitar merapi justru tenang dan tidak merasa takut ataupun khawatir terhadap merapi,” imbuhnya.
“Dalam jurnalistik, yang lebih penting adalah nilai yang ada dalam foto ketimbang estetiknya,” pungkas Dwi Oblo. [Nella]