“Ini adalah bentuk perbudakan gaya baru,” tegas Kirnadi, Sekretaris Jenderal ABY.
Buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Menggugat (ABM), Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY), Federasi Perjuangan Buruh Jabodetabek (FBPJ), dan Serikat Pekerja Keamanan-Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (SPK-PPBI) menegaskan menolak liberalisasi tenaga kerja. Penolakan tersebut disampaikan pada diskusi publik bertajuk “Nasib Buruh di Bawah Revisi UU 13/2003 dan Jalan Keluar Gerakan Buruh Indonesia” yang dihelat di Ruang Konferensi Fakultas Hukum Atmajaya, Mrican.
Dalam diskusi yang digelar pada Selasa siang (5/10) tersebut, masing-masing perwakilan kelompok buruh memaparkan perspektifnya terkait isu revisi UU 13/2003. Baik ABM, ABY, FBPJ, dan SPK-PPBI menganggap revisi UU 13/2003 merugikan buruh.
Para buruh khawatir revisi ini akan lebih merugikan bagi mereka mengingat UU 13/2003 yang ada selama ini sudah menguntungkan pemodal. “Seakan-akan pemerintah dan pemodal masih kurang puas dengan ketertindasan buruh,” ujar Budi Wardoyo, anggota ABM. Keberadaan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), perjanjian pemborongan pekerjaan dalam UU tersebut dinilai sudah mengoyak kesejahteraan para buruh. Apalagi, dalam revisi yang direncanakan, peraturan tentang hal-hal tersebut semakin menguntungkan pemodal. Diantaranya adalah pasal 59 tentang PKWT yang semakin liberal, pasal 65 mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan, pasal 142 tentang hak mogok yang semakin memberatkan buruh, dan pasal 156 mengenai pesangon buruh yang semakin dikurangi. “Ini adalah bentuk perbudakan gaya baru,” tegas Kirnadi, Sekretaris Jenderal ABY.
John Silaban dari Departemen Pengembangan Organisasi FPBJ malah menganggap UU 13/2003 bertentangan dengan konstitusi, tepatnya pasal 27 ayat 2 UUD 45. Pasal tersebut berbunyi: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. John menganggap UU 13/2003 mencabut hak buruh dari pekerjaan dan penghidupan layak. Padahal seharusnya negara berpihak pada buruh yang posisinya lemah karena tak memiliki alat produksi.
Namun negara seolah lepas tangan dengan melimpahkan sengketa buruh-pemodal pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). “Sekarang negara hanya menjadi wasit, padahal sudah jelas posisi buruh tidak imbang. Apalagi jika negara berpihak pada pemodal,” ungkap Budi. Revisi ini juga dianggap Budi sebagai reaksi pemerintah untuk memudahkan investasi modal.
Berbeda dengan para buruh, Drs. H. Mohammad Hono Sejati, S.H., M.Hum., Hakim PHI, justru menganggap UU 13/2003 sudah semakin berpihak pada buruh. Menurutnya, UU 13/2003 lebih cepat, tepat, dan murah daripada peraturan-peraturan sebelumnya. Namun di sisi lain, ia juga menganggap UU 13/2003 masih perlu dibenahi. “Saya pribadi sebagai manusia juga tidak sepakat dengan liberalisasi tenaga kerja,” katanya. [Azhar, Gading]