Kasus pemukulan mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) oleh oknum polisi dua minggu yang lalu menjadi topik seru dalam diskusi publik, Kamis (2/9). Forum bertajuk “Menuntut Independensi dan Profesionalisme Aparat Penegak Hukum” itu diprakarsai oleh Fakultas Hukum UAD. Suparman Marzuki, Heniy Astiyanto, dan Aknandari Malisy hadir sebagai pembicara dalam acara yang diadakan di Hall Kampus II UAD tersebut. Diskusi ini sebagai tindak lanjut atas delik yang dialami oleh Mas Hono Rio Kertanegara oleh seorang oknum polisi Satlantas Polres Bantul.
Dialog yang dimulai sejak pukul 10:00 itu dibuka dengan narasi ulang Rio tentang tindak kekerasan yang dialaminya. “Waktu itu (21/8-red) di Jalan Wonosari Km 12,5, polisi yang mengendarai sepeda motor sembari menggunakan telepon genggam itu bergerak menyerong, hendak menyeberang, dan menghalangi jalan saya. Setelah memantapkan posisi kendaraan, saya tegur kelalaiannya secara baik-baik, tapi tidak ditanggapi. Tak digubris, saya laporkan ke komandannya yang berada di pos. Sayangnya, juga tak ditanggapi dengan baik. Malahan saya dipukul dari belakang oleh salah seorang anggota polisi, yang disusul oleh anggota polisi lain. Saya dibebaskan setelah diinterogasi di ruang tertutup,” tutur mahasiswa Fakultas Hukum UAD 2009 ini. “Terakhir kasus saya sudah masuk BAP (Berita Acara Pemerikasaan-red) di Polres Bantul dan tinggal menunggu proses selanjutnya,” imbuh pemuda yang sempat empat hari dirawat di RS Islam Hidayatullah ini.
Bertalian dengan kasus tersebut Suparman Marzuki mengemukakan persepsinya tentang polisi. “Dalam satu negara modern, polisi itu conditio sine qua non, mutlak harus ada, dan tak mungkin ada suatu negara tanpa polisi. Tapi dalam prakteknya kita dihadapkan pada kesulitan proses polisi menjadi kekuatan rakyat (protogonis),” keluhnya. “Yang terjadi adalah seperti dalam negara otoritarian: polisi adalah institusi antagonistik. Polisi tidak menjadi kekuatan masyarakat, malah berhadap-hadapan dengan rakyat,” tambah Direktur PUSHAM UII ini.
Diskusi semakin riuh saat peserta ikut urun rembuk. Sahlan Said, seorang mantan hakim, menuturkan ada hal yang ganjil dalam kasus ini. “Kasus ini kalau diceritakan sebenarnya kasus pengeroyokan. Menurut Pasal 170 KUHP, unsurnya adalah: ditempat umum, lebih dari satu orang, dan termasuk penganiayaan. Ancaman hukumannya empat tahun lebih,” paparnya. Ia kemudian menuturkan anomali yang biasa terjadi pada kasus seperti Rio. “Tapi bila polisi yang didakwa memiliki intrik dengan jaksa dan hakim, kasusnya akan direkayasa. Dakwanya bukan Pasal 170 KUHP tapi dikenakan pasal penganiayaan—yang memiliki ancaman hukuman tak sampai satu tahun. Itulah kalau polisi pandai, jaksa pandai, hakim pandai, tetapi tidak bertanggungjawab, kepandaiannya dipakai untuk minteri orang,” tandasnya.
Hal senada dilontarkan oleh Heniy Astiyanto, selaku kuasa hukum Rio. “Ada penggiringan kasus dari pengeroyokan ke penganiayaan, jelas Heniy. Ia menambahkan bahwa pihaknya telah dilemahkan sejak awal. ”Sejak awal kami digembosi Dandim (Komandan Komando Distrik Militer-red) melalui media. Dandim membuat wacana di media bahwa kasus sudah didamaikan, yang didamaikan bukan korbannya melainkan orang tua Rio, karena bapaknya adalah bawahan sang Dandim. Bapaknya ditekan supaya damai hingga membuat statement di media bahwa kasus berakhir damai,” jelas Direktur Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum UAD ini.
Di akhir sesi diskusi Suparman sempat menegaskan pernyataanya. “Jadilah polisi yang baik, tidak ada ruginya berbuat baik.” Dengan praduga bahwa ada anggota polisi yang mengikuti jalannya diskusi, ia menambahkan, “Kepada pak polisi yang mungkin hadir di sini, kalau ada. Saya ingin menasehati. Lebih baik jadi polisi yang disegani karena respek, bukan disegani karena ditakuti.” [Ape]