(31/7) lalu, saya membaca mailing listtentang 12 nama tokoh yang lolos seleksi tahap kedua penjaringan ketua komisi pemberantasan korupsi (KPK). Ada nama yang belum saya kenal ada pula yang sudah sering saya dengar. Namun, saya tidak menyoroti siapa yang lolos, tetapi ikut mengingatkan hakikat KPK sesungguhnya. Saya pun tidak dalam sikap menolak adanya ingar-bingar penjaringan tersebut.
Saya terkesima dengan paparan deskriptif lagi kuantitatif yang dipaparkan Rimawan Pradiptyo di rubrik Gagasan, Koran Jakarta, beberapa waktu lalu. Beliau mengabarkan pada pembaca tulisannya—termasuk saya—bahwa ada bias kewenangan yang melibatkan beberapa lembaga negara. Bias yang saya maksud adalah tidak padunya pendeteksian koruptor dengan penjatuhan hukuman. Keduanya dilakukan oleh dua lembaga yang masing-masing menangani salah satu tahapan. KPK hanya bertugas sampai pendeteksian nama koruptor! Penjatuhan hukuman dilakukan lembaga lain.
Satu hal menarik berdasarkan fakta yang diungkap beliau bahwa besaran denda yang dijatuhkan pada koruptor tidak memenuhi fungsi linear. Saya—dan saya yakin banyak orang juga—berharap bahwa fungsi linear itu dijalankan. Koruptor miliaran diberikan denda miliaran. Koruptor triliunan dijatuhi kewajiban mengembalikan uang triliunan. Begitu juga dengan bakal calon koruptor kakap selayaknya juga diwajibkan “mengembalikan” barang yang dikorupsinya. Sayangnya, konsep itu hanya khayalan belaka. Kenyataan yang terjadi bahwa semakin besar jumlah materi yang dikorupsi maka semakin kecil rasio dendanya.
Fakta yang terjadi memunculkan dua hal berbeda yang perlu didefinisikan prioritasnya dalam kerangka pemberantasan korupsi. Hal pertama adalah pemberantasan korupsi dengan tujuan mengembalikan “uang curian”. Hal kedua adalah pemberantasan korupsi dengan tujuan untuk menangkap setiap koruptor. Definisi prioritas perlu dilakukan untuk menjaga citra lembaga terkait pemberantas korupsi. Kredibilitas negara pun dipertaruhkan dari aksi yang dipilih dalam pendefinisian tersebut. Saya lebih memilih untuk memprioritaskan keduanya. Sebab, memprioritaskan salah satu hanya akan membuat pincang pemberantasan korupsi di Indonesia. Semisal pilihan pertama yang dipilih, pemberantasan korupsi untuk mengembalikan uang hasil korupsi, maka akan sering terjadi kevakuman dalam produktivitas pengungkapan nama koruptor. Jika pilihan kedua yang diprioritaskan maka akan ada peluang terulangnya tindak korupsi. Sebab, koruptor hanya diberi sanksi secara sosial, yaitu pengumuman namanya sebagai koruptor di media massa tanpa denda yang membuatnya kapok di kemudian hari. Namun, jika kedua pilihan tersebut yang diprioritaskan berarti ada tugas besar yang harus dilaksanakan sebanyak-banyaknya stakeholder untuk menjalankan komitmen serta merombak sistem aksinya.
KPK adalah lembaga yang terlanjur terbebani tanggungjawab moral yang besar. Publik sangat berharap KPK dapat membawa era menjerakan bagi aktivitas korupsi di negeri ini. Namun, era tersebut tidak dapat diciptakan KPK melalui perannya yang terbatas. KPK menjadi harapan sementara publik tidak semuanya mengetahui dapur pemberantasan korupsi yang ternyata masih belum garang. Ada satu kekhawatiran saya, bahwa pembentukan serta pemilihan nama komisi pemberantas koruptor tersebut didesain untuk menguatkan citra pemerintah dengan tanpa menakutkan “kerabat pemerintah”. Saya mengistilahkan kerabat pemerintah sebab koruptor lebih berpeluang lahir dari kalangan di dalam pemerintahan atau kerabat pemerintahan (semisal rekanan). Budaya korupsi yang disulap seakan sebagai hubungan simbiosis mutualisme menjadikan nama KPK sebagai momok bagi koruptor. Namun, kekhawatiran saya tersebut bahwa ada upaya untuk melunakkan kesan garang tersebut. Pelunakan tersebut terlihat dari tidak padunya aksi pemberantasan korupsi yang ditetapkan di negara ini. Bahkan, menurut uraian Rimawan Pradiptyo tersebut ternyata biaya operasional KPK perlu “dihitung ulang” dalam kaitannya dengan uang yang kembali ke negara sebagai bentuk pengembalian hasil korupsi. Di luar karut-marut ketidakpaduan tindakan itu, citra pemerintah tetap terangkat sebagai penguasa yang peduli uang rakyat. Pilihan memprioritaskan kedua hal yang saya sebut tadi akan membawa perubahan pada tatanan kelembagaan serta psikologi tindakan. Jika situasi produksi koruptor serta produksi uang pengembalian korupsi benar-benar tercipta, niscaya koruptor dan bakal calonnya secara psikologis akan jera mengulangi perbuatan memakan uang rakyat. Saya sepakat sembari menunggu pendefinisian komitmen tadi kita berfokus pada penjaringan Ketua KPK yang berkualitas. Saya berharap nama yang akan terpilih dari 12 nama yang lolos seleksi tahap kedua mampu mengabdi optimal untuk bangsa dan negara.
Oleh Febrio Sapta Widyatmaka, S.Si—alumnus Fakultas Geografi UGM (2010) beralamat di febriosw.web.id