Sebagian besar berita tentang lingkungan selalu menyedihkan, serupa nubuat tentang kiamat atau obituari yang ditulis menjelang mati.Sebagaimana kabar tentang pemanasan global atau pembalakan liar, berita TPA Piyungan (Kompas, 23/2/2010) mestinya membuat kita semua sadar pada satu hal. Hari-hari ini, terhadap lingkungan, perilaku manusia dan kadar kemanusiaan ternyata tengah berada pada titik kedangkalan.
Kita boleh tak peduli TPA Piyungan bakal kehabisan daya tampung dalam dua tahun mendatang. Mereka yang bermukim  jauh dari TPA Piyungan bisa saja abai pada ancaman bahaya metana. Siapapun boleh berkomentar, âah baru Piyungan. Sudah dari dulu, Bantargebang dan Leuwigajah juga begitu.â Saya sengaja menulis demikian sebagai ungkapan lain dari angka bahwa 74,7 persen penduduk Kota Jogja dan 73,7 persen penduduk Kabupaten Sleman tidak pernah peduli dengan sampah plastik mereka (Data Survey BPPM Balairung April-Juni 2005).
Ketidakpedulian terhadap sampah adalah gejala obyektif yang dengan mudah bisa ditemukan di hampir semua wilayah kehidupan. Dalam konteks masyarakat kita, sampah adalah kategori universal bagi keburukan perilaku industri, pemukiman, pasar, hingga  perkantoran. Ia tak kalah penting dari politik, karena langsung berhubungan dengan urusan privat dan sekaligus publik.
Sampah merupakan kenyataan yang usianya sama tua dengan peradaban manusia. Ia menyertai sejarah umat manusia yang, dalam bahasa Marxian, berisi sejarah produksi dan konsumsi. Kita tahu, pada masyarakat tradisional, sampah bukan lah persoalan berarti karena sampah daun pisang, misalnya, tunduk dalam suatu hukum siklis alam. Tapi, ketika teknik pengawetan semakin menggalak dan digalakkan, ketika plastik dan styrofoam jadi pilihan, mulai lah sampah jadi persoalan.
Sindrom Nimby
Kita lahir, besar, dan hidup pada masa dimana irisan antara modernitas dan tradisionalitas kerap mewujud dalam kekonyolan. Dari keduanya, yang baik ditinggalkan, sementara yang buruk dirayakan. Modernitas dipersempit sebatas pada hal-hal remeh seperti pilihan busana, selera makan, atau gaya bahasa. Sedang tradisionalitas diledek hanya karena dinilai kampungan dan ketinggalan zaman.
Modernitas dalam pengertian mendasarnya yakni rasionalitas justru tanggal dan lumpuh. Sedangkan tradisionalitas yang banyak mengandung kearifan asli (indigeneous wisdom) dan mengutamakan sikap hidup manunggal dengan alam justru dilalaikan. Sampah adalah bukti nyata bagaimana kekonyolan itu terjadi. Kita sering bersikap irasional, tak mampu memperhitungkan sampah dari hulu sampai hilir persoalan.
Di sisi lain, cara-cara tradisional dengan membakar, menimbun, dan menghanyutkan sampah di sungai masih dilestarikan. Karena transisi dari tradisionalitas ke modernitas tak kunjung tuntas, maka banyak orang masih tak sadar beda antara sampah organik dan anorganik. Contohnya mudah saja. Bukankah perilaku membakar ban bekas dianggap tak berbahaya lantaran tak jauh beda dengan api unggun biasa?
Kekonyolan itu berlanjut pada sikap dan perlakuan kita terhadap sampah. Dalam kajian lingkungan dikenal sindrom nimby, kepanjangan dari not in my backyard (Purwo Santosa, 2005). Asal yang bersih punyaku, yang lain terserah. Sampah lalu menjadi bagian yang harus ditiadakan, seraya alpa bahwa sampah tak mungkin dimusnahkan. Nampaknya, kebutuhan terhadap normalitas yang artifisial dibangun dalam kerangka yang saling meniadakan. Seperti halnya pelacuran yang dinilai sebagai penyimpangan sosial demi tegaknya kesusilaan, demikian halnya dengan sampah. Ia menempati alter ego kolektif kita. Kesan kotor, kumuh, menjijikkan, dan tak berguna selalu diasosiasikan dengan sampah untuk menegaskan bahwa sampah adalahliyan, bukan bagian dari lingkungan yang kita tinggali dengan nyaman.
Lebih gawat lagi, sindrom nimby selalu butuh tumbal untuk dikorbankan. Sudah menjadi kelumrahan bahwa kebersihan mobil pribadi biasa dijaga dengan cara membuang sampah di jalan raya. Karena sampah bukan âjatahkuâ, kita lalu menjatahkannya pada âpasukan kuningâ, pemulung, dan TPA. Meminjam bahasa Purwo Santosa, âharus ada yang dikorbankan agar kepentingan publik dicukupi.â
Sementara, pemerintah tak kunjung punya cara penanggulangan yang sistematis, selalu saja reaktif. Buka-tutup TPA dan metode sanitary landfill (dikumpulkan, dipadatkan, dan ditimbun) adalah lagu lama. TPA Ngoto, TPA Brengosan, dan TPA Blambangan adalah beberapa ânomorâ yang kini tinggal jadi ingatan usang. Tak lama lagi, penuhnya TPA Piyungan bakal diantisipasi dengan perluasan dari 10 hektare menjadi 18 hektare. Penanganan semacam ini tak beda jauh dengan kebijakan pelebaran jalan. Kemacetan dan polusi udara tetap akan meningkat selama jumlah kendaraan tidak dikendalikan. Ke depan, pola reaktif semacam ini sudah tidak relevan. Dalam kasus sampah, yang paling mendasar untuk dibenahi bersama adalah pola konsumsi.
Menjinakkan Konsumerisme
Baik di wilayah privat atau publik, persoalan sampah sangat terkait dengan perangai konsumsi. Seiring dengan tentakel kapitalisme industri yang kian menggurita, lahirlah moda konsumsi baru yang digerakkan oleh simulasi pesan (Baudrillard, 1991 dan 1998). Simulasi itu mewujud dalam rayuan iklan, banner, hingga desain kemasan. Semuanya hadir guna menggenjot hasrat konsumsi. Muncul lah apa yang kini sering disebut nilai tambah (added value). Perilaku makan-minum dan berbusana, misalnya, sudah tak melulu soal biologis, tetapi meluas pada pemuasan akan citra, gengsi, dan sensasi. Inilah konsumerisme, perilaku konsumsi simbolik yang mengada-ada dan melampaui kewajaran, yang sekaligus menandai era posmodern.
Celakanya, simulasi ini berlangsung dalam mekanisme industri yang menghabiskan bahan baku material dan ujung-ujungnya menjadi sampah juga. Konsumsi simbolik dengan demikian memubazirkan barang yang sebenarnya tak dibutuhkan. Ini bisa dibuktikan dengan memeriksa kantung sampah di rumah kita atau berkunjung ke TPA Piyungan sana. Tidakkah kecenderungan semacam ini adalah puncak kerakusan dalam sejarah konsumsi umat manusia?
Akhirnya, sebagai individu dan bagian dari publik, kita perlu membenahi moda konsumsi yang dari hari ke hari kian tak wajar. Dengan menghayati fitrah konsumsi di atas konsumsi simbolik, sampah akan terkendalikan sejak hulu persoalan. Memang, upaya yang dicontohkan Komunitas Sukunan dengan menerapkan 3r (reduce, reuse, and recycle) mesti ditularkan. Hanya saja, prinsip 3r ini tak akan banyak berarti sepanjang kita masih memelihara konsumerisme. Ah, dua tahun adalah waktu yang terlalu singkat untuk mengerjakan sesuatu, apalagi menunggu.
Oleh: Ahmad Musthofa HaroenâKepala Divisi Riset BPPM Balairung UGM.