Judul buku : Sabda Ramalan
Penulis : Mindiptono Akbar, dkk.
Penerbit : Ekspresi Buku, Jogjakarta
Cetakan : I, Maret, 2010
Halaman : xxv + 287 halaman
Sebagaimana gairah ingin mengungkap masa lalu, penasaran terhadap masa depan adalah perangai manusia yang tak terelakan. Orang Jawa punya konsep ringkas nan padat untuk itu: sangkan paraning dumadi.Keberadaan manusia sesungguhnya hanya berkisar pada soal dari mana berasal dan hendak kemana menuju. Uniknya, apa yang kita pikirkan, alami, dan rasakan tentang hidup selalu berpusing-pusing pada dimensi hari ini. Kita senantiasa berada pada saat ini, sedang lusa atau kemarin hanyalah hari ini yang sudah atau akan dijalani.
Meski mengalami kekalahan di hadapan waktu—konsep yang sebenarnya buatan belaka—manusia tampak tak mau kalah terlalu telak atau kalau perlu menaklukkannya. Buku ini menawarkan ramalan sebagai lubang intip untuk menegok kecenderungan itu. Sabda Ramalan, seperti Bandung Mawardi tulis dalam epilog, mau “mengajak pembaca piknik dalam gairah tak biasa untuk memerkarakan ramalan dalam pelbagai perspektif”. Yang dibentangkan adalah kenyataan bahwa sepanjang sejarahnya dan dimana pun tempatnya, manusia selalu ingin menyingkap halimun yang mengaburkan pandangan terhadap masa depan.
Per kata, ramal diserap dari bahasa Arab raml yang berarti pasir. Dengan memahaminya secara kosmologis bersama gejala perbintangan, jadilah apa yang disebut ilmu nujum—sesuatu yang mudah dimaklumi dalam budaya padang pasir. Sayang, buku ini tak menyelusur lebih jauh mengapa dalam bahasa Indonesia istilah ramal lebih disukai daripada nujum. Meski tak disebut lugas, kata ramalan dalam buku ini dipakai dalam pengertian dan batasan yang sangat longgar. Ramalan disini ingin merujuk sebagian besar—atau malah semua—perilaku manusia, baik melalui jalur mitis, rasionalis, empiris, hingga ideologis, dalam menghadapi masa depan yang samar.
Ada begitu banyak cerita yang secara acak bisa diambil dari lipatan peradaban kuno untuk melihat bagaimana praktik ramalan dilakukan. Contoh paling segar adalah ramalan kiamat yang dinisbatkan pada perhitungan kalender suku Maya . Konon, bumi memiliki siklus besar tiap 5.125 tahun sekali. 21 Desember 2012 adalah saat dimana bumi menutup lembaran lama kehidupan secara total. Setelah itu, entah.
Peradaban Maya setakar denganperadaban tua lain semacam Mesir, Romawi, Persia, Cina, India, Babilonia, atau Yunani. Masing-masing punya pengalaman dan laku ramal yang khas. Buku Atlantic The Lost Continent Finally Found (2005) karya Arysio Santos juga menceriterakan aneka rupa cerita tentang ramalan penduduk Atlantis. Kebesaran Atlantis mungkin jauh dari bayangan kita dengan Indonesia sekarang. Meski demikian, Indonesia masih punya banyak peramal dan metode meramal. Pranata mangsa, kalender musim yang dikembangkan berdasar ilmu titen, adalah salah satu eksemplar laku meramal yang tumbuh dalam kultur agraris Jawa. Pranata Mangsa berguna sebagai pedoman terutama dalam hal bercocok tanam.
Peradaban-peradaban kuno itu, oleh modernitas, dimasukkan dalam kategori masyarakat dengan sistem pengetahuan yang dibangun dari, dengan, dan atas justifikasi metafisis. Termasuk di situ adalah tradisi masyarakat monoteistik dan politeistik. Nuansa makna dalam kata supranatural, mistik, adi-kodrati, okultisme, dan—yang agak serampangan—tradisionalisme sering dikaitkan dengan model masyarakat ini. Pola umum ramalan dalam kategori ini adalah penggunaan metafor, otoritas peramal yang kuat, serta pewarisan antar generasi secara genetis dan lisan. Iliad karya Homer, kitab suci para nabi, dan Serat Jayabaya adalah contohnya.
Satu hal yang jarang diapresiasi dari peradaban kuno adalah kemanunggalan kosmologis. Tentu saja, ini adalah generalisasi yang tergesa. Namun, paling tidak generalisasi ini membantu kita mengenali watak modernitas yang diusung proyek pencerahan Eropa. Slogan masyhursapere aude, berani berpikir sendiri, adalah percik gejala ihwal peralihan pandangan hidup manusia. Rasionalitas mengubur dogmatisme. Manusia lalu lahir sebagai subyek yang bebas dari tirani dogma dan bebas untuk memaknai serta merayakan hidup yang masuk akal. Dalam rumusan pendek, sains tampil ke depan, “agama” surut ke belakang.
Sains, dalam pengertian longgar, segera menjadi jelmaan pusat nilai (logos) yang dengannya segala peristiwa dinalar, dinilai dan dikerangkai. Kita tahu, proses ini berlangsung bersamaan dengan kolonialisme modern. Keterbatasan manusia menjelaskan fenomena alam yang mulanya dipuaskan dengan mitos dikoloni oleh penjelasan saintifik. Maka, mitos surga, misalnya, disimpulkan oleh psikologi sebagai hasrat atau imajinasi. Legenda yang tadinya adalah alat pengawet masa silam, perannya diambil alih ilmu sejarah, antropologi, arkeologi, dan palaeontologi.
Setali tiga uang dengan nasib ramalan. Sains menjinakkan masa depan melalui berbagai sofistikasi. Masa depan ditaklukkan melalui penyediaan prediksi bagi kemungkinan-kemungkinan dengan mengenali faktor-faktor pembentuk atau penyebabnya. Misal, cuaca esok lusa bisa diukur hingga pada tingkat curah hujan. Dengan pendekatan behavioral, tumbuh kembang seseorang bisa dikontrol sejak dini. Dengan jajak-pendapat, kemenangan presiden dalam pemilu bisa ditebak jauh-jauh hari. Begitu seterusnya. Bahkan, belakangan berkembang ilmu yang disebut futurologi . Toffler, Nasbit dan Aburbene adalah beberapa nama futurolog yang mendasarkan ramalan berdasar prinsip ilmu-ilmu modern.
Karena Masa depan adalah proyeksi kemungkinan dari hari ini, maka masyarakat industrial pada dasarnya menghadapi masa depan dengan manajemen risiko. Meminjam Giddens, terdapat dua macam risiko, yakni external risk dan macufactured risk. Contoh bagi yang pertama adalah bencana alam, yang kedua kecelakaan lalu lintas. Yang diupayakan dalam menghadapi risiko adalah meminimalisirnya sebisa mungkin. Andaipun gagal, masyarakat modern punya obat pereda: asuransi.
Nah, antara Joko Bodo dan Boediono atau Mama Lauren dan Sri Mulyani, tentu ada banyak hal berbeda. Tapi, selain sering tampil di media massa, suatu hal yang mempersamakan mereka ternyata sederhana saja. Sama-sama percaya diri mampu menerka dan sekaligus menentukan peristiwa yang bakal terjadi. Saya bayangkan mereka bertukar peran. Bisakah anda bayangkan Boediono berkata, “anda tak cocok kerja di air.” Sedang Joko Bodo berkata, “Century adalah bank gagal berdampak sistemik”. [Ofa]