Apapun itu, inilah politik. Siapapun boleh berkilah dan tak diharamkan untuk menilai. Belakangan menghangat headline pemberitaan tentang pengusulan SBY menjadi presiden 3 periode. Wacana yang sering dibahasakan Ruhut tersebut dapat dinilai dari berbagai perspektif baik dalam koridor keorganisasian maupun ego pribadi. Boleh saja pihak partai (Demokrat) mengatakan bahwa tak ada satu ruang dan waktu sedikit pun bagi organisasi mereka berpikir ke arah pemilihan kepemimpinan dengan cara berbau Orde Baru. Namun, tidak pula tertutup kesempatan lahirnya opini mengupas dan menduga serta mengaitkannya dengan garis kepartaian.
Wacana pencalonan SBY sebagai presiden selama 3 periode berturut-turut sungguh fenomenal dan menjaring banyak pikatan. Wacana tersebut saya rasa tidak akan menjadi menarik jika muncul di era Soeharto atau di era selain SBY yang populer karena pencitraannya. SBY yang selama ini dikenal sebagai sosok yang sangat menjaga citra tiba-tiba saja disambut suatu perahu opini besar yang bisa saja menempatkannya sebagai sosok haus kekuasaan. SBY adalah sosok sentral yang mampu membangun dan mendongkrak organisasi kepartaiannya menjadi partai tersohor dan terkuat di negeri ini—paling tidak selama 2 periode pemilu terakhir. Wacana sistem kepresidenan kali ini pun sungguh menjadi bola liar. Wacana itupun lagi-lagi mengambang layaknya uji coba pasaran untuk kendaraan baru model ekstrem nan futuristis.
Wacana kepresidenan berfondasikan kesempatan amandemen UUD mengecewakan harapan banyak rakyat. Rakyat sempat kagum atas sikap revolusioner yang diperankan pegiat partai yang selalu menggotong jargon “Bisa!” itu. Terpilihnya Anas Urbaningrum disambut baik sebagian rakyat sebagai suatu representasi komitmen partai SBY untuk lebih membuka diri terhadap dunia baru. Kesan yang melekat pada unit kepartaian di Indonesia selama ini adalah mengakarnya jaring fondasi tokoh-tokoh pendiri partai. Setiap pendiri seperti berkonsentrasi dan berkeyakinan akan memegang posisi RI 1. Akibatnya terjadi ketidakproduktifan. Berapapun usia seorang pengurus partai, jika ia adalah pendiri dan belum merasakan nyamannya dikawal pasukan kepresidenan—atau paling tidak kementerian—kesana kemari maka belum saatnya lengser apalagi mengundurkan diri. Wajah pemilu pun menjadi selalu monoton karena hampir tak pernah ada sosok baru. Terpilihnya Anas Urbaningrum sebagai ketua umum sebuah partai yang besar lagi megah seperti Demokrat telah meloloskan cahaya baru akan kemungkinan segarnya Indonesia mendatang. Golongan muda memiliki kesempatan untuk bergolak mengawal negeri ini ke arah yang lebih energik dan muda. Wacana pengangkatan kembali SBY agar genap lima belas tahun menjadi presiden mengaburkan percepatan regenerasi yang baru saja terjadi dan ditampilkan partai dominan biru tersebut.
Saya melihat ada kegamangan—dalam konteks kepartaian—yang dialami Partai Demokrat. Antusiasnya beberapa tokoh partai dalam “menyampaikan” wacana yang konon diperolehnya dari aspirasi rakyat tersebut secara tidak langsung menggambarkan betapa gembiranya partai tersebut dengan ide tadi. Jika benar itu yang terjadi maka berarti partai tersebut telah sedang mencoba kegagalan dalam menapaki ujian dan tantangan yang ada di dalam dirinya sendiri. Mereka tak berani menyiapkan sosok lain selain SBY. Kegamangan seperti itu nyata-nyata merontokkan komitmen pembaruan kepemudaan yang telah dipilih.
Saya melihat kemungkinan lain dalam bentuk manuver politik atas kisah fenomenal beberapa pekan ini. Beberapa tokoh partai dimungkinkan secara sengaja menyulut isu tersebut untuk menunjukkan sikap nakalnya. Sasarannya pun tak hanya tunggal tetapi bisa multikomponen. Manuver seperti itu dapat diibaratkan sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Kenakalan yang mengusik kenyamanan dan stabilitas presiden tersebut pastinya menyedot perhatian SBY. Kepastian lain tentu menarik konsentrasi rakyat. Apapun perhatian dan konsentrasi yang terbina, sosok nakal tersebut menjadi dikenal dan terkenal. Peribahasa mengatakan tak kenal maka tak sayang. Bagaimanapun perkenalan itu bermula, di titik berikutnya terbuka banyak pintu sayang.
Semoga kecurigaan yang sering berkonotasi berpraduga ini sebatas opini saja. Slogan “Lanjutkan!” semoga pula tidak bermakna psikologis untuk mengabadikan posisi presiden. Semoga!
Oleh Febrio Sapta Widyatmaka, S.Si—alumnus Fakultas Geografi UGM (2010) beralamat di febriosw.web.id