Membaca tulisan Muhammad Fajrul Falaakh yang berjudul “Perpanjang Kepresidenan SBY?” di Rubrik Opini Harian Kompas (Jumat, 20 Agustus 2010) ada poin menarik untuk dicermati terutama berkaitan dengan nalar pembangunan argumentasi yang sekaligus menjadi nalar berpikir dominan dari para setiap pengambil kebijakan negeri ini, yaitu nalar hukum atau yuridis.Nalar ini tidak menjadi persoalan jika ia sekedar berada dalam ruang-ruang yang tidak berurusan dengan persoalan strategis negeri ini, namun akan menjadi persoalan adalah ketika nalar yuridis ini mengintervensi tatanan sistem politik Indonesia yang memang berangkat dari nalar politik – bukan dari nalar yuridis.
Oleh karena, politik adalah persoalan relasi kuasa dan salah satu persoalan kunci dalam perpolitikan adalah relasi kuasa untuk mengelola kepentingan kolektif (Purwo Santoso, 2010). Dan ketika relasi kuasa yang menjadi pondasi dari bekerjanya sistem politik, diatur, dibatasi, bahkan diintervensi oleh nalar yuridis tersebut, maka yang terjadi adalah pencurian besar-besaran dari hak-hak sipil seseorang untuk berpartisipasi dalam ranah politik.Tegasnya, pada dasarnya manusia memiliki hak asasi dari Tuhan untuk berekspresi, bersuara, dan berhasrat kekuasaan. Ketika hak-hak dasar yang telah dimiliki oleh manusia sejak lahir tersebut, kemudian diambil secara diam-diam oleh para pemikir yuridis, bukankah ini yang dinamakan pelanggaran HAM?
Poin penting yang akan disampaikan dalam tulisan ini yang sekaligus menjadi antitesa dari tulisan Fajrul Falaakh tersebut adalah negeri ini sudah sangat luar biasanya dikuasai dan dibentuk perlahan-lahan melalui cara bekerja hukum (yuridis). Saban kali pemilu, UU Pemilu di judicial review. UU 1945 pun sudah tercatat empat kali diamandemen. Bahkan hingga masa jabatan kekuasaan presiden pun (Tap MPR XIII/MPR/1998 dan Perubahan Pertama UUD 1945) tak lepas dari intervensi hukum ke ranah politik.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menolak masuknya intervensi hukum ke dalam sistem politik. Karena salah satu ciri negara demokratis adalah ketika dapat berdiri di atas pondasi hukum dan ditegakkan melalui penegakkan hukum (Cornelis Lay, 40, 2006). Tapi, yang menjadi penolakan adalah ketika kehadiran tersebut malah merusak system sosial-politik masyarakat Indonesia yang memang sudah sekian lama inherent dengan konteks sosial-politik masyarakat Indonesia. Adanya rapat-rapat pemilihan di lingkup “negara” terkecil sekalipun seperti keluarga atau rapat RT, mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia sudah diperkenalkan dari awal tentang persoalan kekuasaan dan relasi kekuasaan satu sama lain. Di dalam keluarga, misalnya, dalam masyarakat tradisional, seorang Ayah “dipersilakan” untuk mengambil nasi terlebih dahulu ketimbang anak dan istrinya. Atau yang terjadi dalam rapat RT, yang biasa terjadi adalah proses pemilihan melalui jalur musyawarah mufakat untuk memilih seorang pemimpin tanpa harus diadakan mekanis pemilihan prosedural, seperti pemilu saat ini.
Rusaknya tatanan sosial inilah yang kemudian selalu menimbulkan wacana untuk terus mengangkat isu-isu yang bersifat ideologis dan usang untuk dibahas. Misalnya, perdebatan tentang dasar negara dan pembatasan masa jabatan presiden. Semestinya, jikalau ada semangat untuk memperkuat tatanan sistem politik Indonesia, bukan terlebih dahulu dilakukan dengan pembenahan sistem yang mengatur setiap individu di dalamnya. Melainkan, dengan memperkuat individu-individu yang akan mengatur, membuat, dan menjalankan sistem tersebut. Cara berpikir terbalik inilah yang membuat sebuah apologi mengapa sampai saat ini negeri Indonesia tidak pernah kelar dengan persoalan hukum yang dibangun. Setiap kali hukum dibuat, selalu memiliki celah untuk dilanggar. Setiap kali UU diputuskan, selalu berubah seiring dengan perubahan pengambil keputusannya. Nah, semestinya tahapan pengelolaan secara matang terhadap nalar politik di masing-masing individu inilah yang harus dibangun terlebih dahulu sebelum beranjak pada pembangunan sistem hukum untuk mengatur negeri ini.
Persoalan intervensi dan kesalahan cara berpikir ini pulalah yang membuat mengapa persoalan kekuasaan di Indonesia seolah tidak akan pernah selesai. Bukan persoalan kekuasaan itu sendiri yang salah sehingga dapat menghasilkan absolutisme korupsi kekuasaan (Lord Acton). Tapi, kesadaran tentang relasi dan nafsu untuk berkuasa dalam politik dengan menjunjung tinggi etika sosial (social ethics) dalam politik itulah yang mesti dilahirkan dan dirawat. Cara berpikir yuridis mengandaikan bahwa setiap persoalan mesti diatur dalam mekanisme hukum yang memiliki kompensasi reward and punishment di dalamnya serta mesti tertuang dalam ketetapan legal-formal dalam konstitusional modern. Padahal, jika berbicara dalam konteks relasi kekuasaan, Negara Inggris Raya, Selandia Baru, dan Israel menjadikan peraturan tidak tertulis (konvensi) sebagai pondasi ketatanegaraannya (Cornelis Lay, 39)
Hal ini menegaskan bahwa kebiasaan-kebiasaan tak tertulis dalam ”tradisi” yang mengakar dari relasi kekuasaan yang ada dalam masyarakat, bisa menjadi suatu asas fundamental untuk mengelola persoalan politik negeri ini, termasuk persoalaan pembatasan jabatan presiden sekalipun. Penguatan nalar berpikir politik yang sudah inherent dalam diri masyarakat tersebutlah yang menegaskan bahwa mengapa pasca reformasi ini konflik-konflik horizontal malah sering terjadi di masyarakat Indonesia. Kalaulah hukum tercipta dan berada dalam tataran normatif untuk mengatur rakyat Indonesia agar lebih baik dan harmonis, maka mengapa konflik-konflik sosial dari mulai pusat hingga daerah, malah lebih sering terjadi pasca reformasi ini? Bukankah Bangsa Indonesia telah berulang kali mengamandemen konstitusi dan sudah ratusan UU yang dihasilkan? Tapi, mengapa masyarakatnya masih tetap tak bisa diatur? Jangan-jangan nalar yuridis itu yang sebenarnya salah diterapkan di Indonesia.
Oleh: Ridwan Budiman—Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Menteri Humas BEM KM UGM.