Bukan hanya orang yang baru berkenalan, kawan lama pun terkadang keliru dalam mengeja maupun menulis nama saya. Tukang cuci langganan saya misalnya, kerap menulis nama saya “Azar”, bukan “Azhar”. Makanya saya seringkali mengingatkan, “Atas nama ‘Azhar’ dengan huruf ‘H’ diantara ‘Z’ dan ‘A’,”. Begitu juga saat reservasi tiket kereta atau pesawat. Jika juru tiket tidak memberikan kertas untuk menulis nama, saya terkadang langsung menyebutkan alfabet bunyi setelah menyebutkan nama sendiri, “AZHAR : Alfa, Zulu, Hotel, Alfa, Romeo”. Takut kalau-kalau si juru tiket keliru menuliskannya.
Huruf “H” juga seringkali tidak dilafadzkan saat nama saya disebutkan secara lisan. Seorang teman baru yang cukup teliti, bertanya pada saya tak lama setelah berkenalan. “Apakah saya perlu membunyikan huruf ‘H’ dalam ‘Azhar’?” tanyanya. Saya jawab dengan antusias, “Ya!”.
Perkara huruf “H” bukan hanya terjadi pada nama saya. Keberadaan huruf yang satu ini juga diributkan di banyak kata dan nama. Pada kata “Ramadhan” misalnya. Dalam KBBI sebenarnya yang tercantum adalah “Ramadan”. Begitu juga dalam bahasa inggris, “Ramadan” ditulis tanpa “H” diantara “D” dam “A”. Entah media massa mana yang memulai, kini orang Indonesia ramai-ramai menulis “Ramadhan”.
Kasus “H” dalam “Ramadhan” ini sebenarnya terjadi karena proses adopsi bahasa arab dalam tulisan alfabet latin. Kosa kata arab mengenal huruf “Dho”. Berbeda dengan “Dal”, huruf “Dho” dibunyikan dengan penekanan dan sedikit menggelembungkan pipi. Dalam “Ramadhan”, yang disertakan adalah “Dho”, bukan “Dal”. Dalam proses adopsi bahasa arab ke huruf latin, “Dho” kerap kali ditandai dengan hadirnya “H” setelah “D”, sedang “Dal” cukup dengan hururf “D” tanpa ditemani “H” setelahnya. Contoh lain kehadiran huruf “H” yang disebabkan proses adopsi bahasa arab ke huruf latin juga dapat dilihat pada penulisan “Baghdad”. Banyak media di barat memilih “Bagdad”, tanpa peduli bahwa bahasa arab tidak mengenal huruf “G”, melainkan “Ghain”. Huruf ini makhraj-nya di bagian luar tenggorokan. Dibunyikan dengan hembusan yang agak tertahan di bagian kerongkongan. Makanya menurut saya “Baghdad” lebih tepat.
Meskipun dalam pelafalan kerap kali tidak dibunyikan, huruf “H” kerap kali hadir menyelip dalam suatu kata. Dalam bahasa kita, kehadiran huruf “H” terkadang membuat suatu kata seakan-akan menjadi lebih besar, tinggi, resmi, dan terhormat. Kita biasa menulis “Darmawisata”. Tetapi saat kita menulis nama organisasi nyonya-nyonya pejabat terhormat, “Dharma Wanita”, huruf “H” menyelip dalam kata “Dharma”. Juga pada kata “Yudha”. Dalam KBBI yang tercantum adalah “Yuda”. Namun kalangan militer Indonesia lebih suka menggunakan “Yudha” dalam “Rencana Yudha”, “Yudha Siaga”, “Pasukan Yudha”, dan “Graha Purna Yudha”. Agar terdengar lebih gagah perkasa, barangkali.
Kembali lagi ke persoalan “H” dalam nama saya. Memang ini hanya perkara satu huruf. Tetapi penting. Ada dua alasan mengapa huruf “H” begitu penting dalam nama saya.
Pertama, ibarat membaca Al-Qur’an. Jika tajwid nama saya dilafalkan secara keliru, maka artinya jadi berbeda. Azhar diambil dari bahasa arab, yang artinya bunga. Dulu semasa kecil, saya malu ketika mengetahui nama yang saya sandang artinya bunga. Saya kan laki-laki! Kenapa tidak diberi nama “Assad” yang artinya singa? Atau “Hasan” yang artinya gagah? Namun beranjak dewasa, saya semakin menyadari keindahan nama pemberian orang tua saya. Bahwa bunga bukan miliknya sang hawa yang cantik dan lemah lembut saja, laki-laki macho– seperti saya – juga boleh menyandang nama yang artinya bunga. Jika huruf “H’ tidak ditulis atau disebutkan dalam nama saya, maka artinya bukan lagi bunga. “Azhar” tanpa huruf “H” di bagian tengah justru mengingatkan saya pada nama ayah dari Nabi Ibrahim Alaihissalam, Azar. Seorang pengrajin berhala yang berusaha menjerumuskan anaknya sendiri dalam kesesatan. Naudzubillah tsuma naudzubillah.
Kedua, alangkah eman-eman kalau huruf “H” dalam nama saya tidak dilafalkan secara lisan. Sebab huruf “H” itu seksi. Bunyinya mendesah. Coba saja anda sebut nama lengkap saya, “Azhar irfansyah”, dengan penekanan di setiap huruf “H”. Pasti akan terdengar lebih mesra. Betul tidak?
Azhar Irfansyah—Koordinator BALKON BPPM Balairung.
1 komentar
Wkwkwk… kita punya problem yang sama. kadang dipanggil Reza, Reksa, Re”J”a, bahkan Reisa. Kesel emang. Salam dari Resha, huruf “H” diantara “S” dan “A”