Belakangan hangat dibicarakan perihal sistem parkir di salah satu perguruan tinggi tertua di negeri ini (UGM).Ā Bahkan beberapa komunitas terang-terangan menyatakan kontra dengan beragam alasan. Namun, agaknya sistem perparkiran tersebut memang belum sematang usia perguruannya. Helm hilang sudah menjadi penyakit menjamur. Bahkan, kadang motor juga hilang. Wajar kemudian jika muncul kebijakan-kebijakan terkini dengan alasan pembenahan sistem. Satu hal yang perlu dicermati adalah keefektifan dan ketepatan dari setiap kebijakan tersebut.
Sekitar tahun 2007 muncul ide pembuatan sistem parkirĀ cluster. Setiap kendaraan yang memasuki areaĀ clusterĀ akan mendapatkan kartu parkir bersama. Jumlah kartu untuk setiap kendaraan ada dua. Kartu pertama untuk digantungkan di kendaraan dan satunya lagi dibawa kemana pun alias ditaruh di saku. Bagi saya pribadi, ide tersebut sangat tidak tepat sasaran. Tidak ada yang dapat disasar dari model perparkiran seperti itu. Menekan angka curanmor? Sepertinya tidak ada celah untuk mengamankan dari model seperti itu. Namun, ada catatan penting bahwa kebijakan kala itu sebenarnya melahirkan proyek dadakan yang lumayan basah bagi pengelolanya. Saya berani mengatakan lumayan sebab biasanya tidak ada pengadaan kartu mika seperti itu dan pada
waktu itu ada.
Waktu itu saya selalu berkomentar bahwa model perparkiran seperti itu cacat. Oknum yang ingin mencuri motor, misalnya, tidak perlu mengindahkan keberadaan kartu itu. Ia cukup memasukkan motornya dan mendapat kartu. Lalu kartu itu digunakan untuk membawa keluar motor korban. Motor oknum dengan mudah dapat dikeluarkan dengan bantuan STNK. Tak berlangsung lama, proyek itu pun mati suri. Kartu banyak dikoleksi pengguna parkir dan mungkin setelah dipikir ulang usaha tersebut tidak memberikan suatu manfaat. Bagi pengguna, malah rawan menimbulkan kerugian. Sebab jika kartu hilang ganjarannya adalah denda. Wajar jika kemudian pengoleksian menjadi salah satu antisipasi terkena denda.
Ide berikutnya adalah ide lama yaitu setiap kali keluar area parkir harus menunjukkan STNK. Ide tersebut bagi saya adalah ide sederhana yang tepat. Suatu pengamanan tidak lantas harus menggunakan peralatan yang canggih dan kompleks. Saya teringat ada suatu cerita seperti berikut. Suatu produk kemasan yang dihasilkan suatu pabrik ternyata ada yang cacat. Letak cacatnya pada isinya. Satu kemasan dari ribuan kemasan yang didistribusikan ke konsumen ternyata tidak ditemui isi alias kosong. Akhirnya pihak manajemen mengundang pikiran-pikiran cerdas untuk menciptakan sistem yang mampu memastikan bahwa setiap kemasan yang keluar ke konsumen harus selalu berisi. Muncullah ide pembuatan sensor tembus pandang dan lainnya. Namun, ada satu ide yang ternyata jauh lebih murah dari pembuatan sensor tadi dan tentunya sederhana. Di setiap pintu keluar barisan kemasan (produk) dipasang kipas angin dengan daya tiup yang lebih besar dibanding resistensi kemasan kosong. Jika ternyata kemasan kosong maka kemasan tersebut akan otomatis terbang tertiup kipas tadi. Dan bagi saya, sistem parkir dengan STNK tersebut sangat baik. Paling tidak jauh lebih baik dari sisi security dibanding ide lain yang pernah ada. Mau tidak mau orang yang mau membawa keluar motor harus menunjukkan STNK. Andaikata tidak mampu menunjukkan STNK maka akan dicatat identitas pengendara di buku petugas.
Ide di tahun 2010 ini ternyata lebih hebat lagi. Namun, tidak ada jaminan keamanan lagi selain mengejar glamor dan pendapatan. Setiap kendaraanĀ civitas academicaĀ atau pegawai perguruan wajib didaftarkan ke pengelola untuk mendapatkan kartu seperti SIM yang terkoneksi dengan databaseĀ online. Pendapatan akan mengalir jika adaĀ civitas academicaĀ atau warga perguruan yang membuat kartu di luar promo yang digelar pengelola. Pembuatan setiap kartu dikenakan biaya ratusan ribu rupiah. Biaya untuk mobil berlipat dibanding motor. Saya mengatakan bahwa sistem ini lebih condong pada sektor pendapatan sebab ātamuā perguruan akan dikenakan biaya parkir Rp 1.000 untuk motor sekali masuk-keluar. Padahal tidak selalu orang masuk ke area perguruan untuk parkir. Banyak juga orang tua yang mengantar putrinya atau kakak mengantar adiknya. Resiko dari sisi keamanan sama dengan ide di tahun 2007 tadi. Cara meretas sistem keamanan ini pun sama dengan sistem tahun 2007.
Bedanya pada pendapatan yang saya urai tadi. Kebijakan terkini tersebut mengundang banyak opini, kontra utamanya. Ada kejadian yang menarik beberapa hari lalu. 15 Juli 2010 malam motor teman saya yang diparkir di area Graha Sabha Pramana UGM dicuri orang. Kejadian yang luar biasa sebab terjadi di tengah hiruk pikuk opini di perguruan tinggi rakyat tersebut. Adakah usaha penggiringan opini untuk melunakkan resistensi āpemberontakā?
oleh Febrio Sapta Widyatmaka, S.Siāalumnus Fakultas Geografi UGM (2010) beralamat diĀ febriosw.web.id