Malam Jumat Kliwon, 3 Ruwah 1943-Dal lalu (15 Juli 2010), Gelanggang Mahasiswa UGM redup. Tidak seperti biasanya, cahaya neon tergantikan temaram lampu pelita bernuansa jingga. Aroma dupa berpadu dengan kembang tujuh rupa menyambut manusia-manusia dari berbagai penjuru. Sungguh kolaborasi yang seksi untuk sekadar membangunkan bulu roma. Sayup-sayup terdengar selentingan dari mulut orang-orang yang berseliweran menunggu pementasan naskah berjudul Leng karya Bambang Widoyo Sp dimulai. Naskah berbahasa Jawa itu dipentaskan Teater Gadjah Mada (TGM) dalam rangka Festival Teater Jogja (FTJ) 2010.
“Wah, ramai sekali. Kok ada penjual bunga juga, seperti mau ke makam saja,” tutur seorang lelaki kepada teman perempuannya di teras Gelanggang. Di sana memang ada dua orang penjual bunga yang juga menjajakan dupa sebagai pelengkap sesaji. Tulisan aksara Jawa berbunyi Makam Kyai Bakal menyambut pengunjung.
Tidak jauh dari penjual bunga, orang-orang berseragam hijau kuning P.T Bakalan Jaya mondar-mandir. Seperti sedang melakukan pengecekan rutin. Satu di antaranya menunggu buku tamu. Satu yang lain menjaga dua kotak hijau setinggi 1 meter. “Monggo, monggo, diisi kotak e. Nek pengen dongane cepet nggih sing kathah (Silahkan diisi kotaknya. Kalau ingin doanya cepat terkabul ya yang banyak).”
Memasuki area setelah pintu masuk, berjajaran penjual lesehan ramai menawarkan dagangannya. Mulai dari pedagang kacang, rokok, CD, hingga pedagang kitab dan obat. Keriuhan tawar menawar antara pedagang dan calon pembeli memecahkan keheningan loby Gelanggang. Hingga seorang berbaju rapi dengan pengawal di belakangnya mulai mengisyaratkan pada para penjaga makam untuk segera membubarkan kerumunan pencari nafkah malam itu. “Monggo dagangane diberesi, sampun jam songo (Mohon dagangan segera dibereskan karena sudah pukul sembilan).” Teriakan demikian terdengar berulang dari mulut yang berbeda.
Akhirnya, besarnya otoritas orang berbaju rapi yang tidak lain adalah juragan di kawasan itu begitu terasa. Ketika dia memerintahkan para penjaga makam untuk membubarkan kumpulan pedagang, para penjaga makam melaksanakannya segera. Begitu juga ketika penjaga makam memberi isyarat kepada pedagang untuk bubar, mereka tidak memiliki daya untuk menentang. “Selain mengenai komoditifikasi dan kooptasi, naskah ini juga hendak bercerita mengenai orang-orang yang teralienasi dan termarginalkan,” ungkap Irfanudin Ghozali, sutradara dalam pentas yang membutuhkan waktu dua bulan persiapan.
Suasana riuh loby Gelanggang perlahan beralih ke panggung utama. Gemuruh penyanyi Jawa yang diperdengarkan melalui pemutar DVD milik pedagang CD, berganti menjadi alunan gemulai gamelan yang dimainkan Unit Kesenian Jogja Solo berkolaborasi dengan Unit Kesenian Swagayugama. Celoteh para pedagang lamat-lamat menjadi paduan suara jangkrik dan burung Pleci yang bersahutan. Suasana pedesaan nan keramat kian tampak dengan berjajarnya nisan beserta gundukan tanahnya dan kijing yang tersebar di setiap lini panggung utama. Ekspansi penonton dari loby ke panggung utama menandakan pertunjukan inti telah dimulai.
Seusai perwakilan dari Direktorat Kemahasiswaan memberi sambutan, seorang lelaki berkacamata bertasbih dan berambut putih berdiri tepat di tengah-tengah panggung utama yang menyerupai makam. Juru kunci makam berseragam P.T. Bakalan Jaya itu mulai membaca doa yang lebih mirip mantra dengan tasbihnya. Berlahan-lahan, ia membaca doa dengan intonasi yang semakin tinggi. Ekspresi wajahnya penuh kepanikan dan ketakutan. Tempo alunan gamelan pun semakin cepat. Pak Rebo berlari kebingungan hingga menoleh ke belakang–siluet. Ia justru semakin panik, wajahnya memerah, suaranya menguat. Seperti menoleh ke masa silam. Ia semakin terlihat ketakutan. “Pak Rebo belum siap menerima kultur dan nilai-nilai baru. Dia juga masih takut dengan penaklukan yang pernah dialami warga komplek pemakaman Kyai Bakal oleh pemilik pabrik,” tutur Ghozali.
Panggung menjadi gelap. Perlahan, suara alunan gamelan mengantarkan percik demi percik cahaya yang masuk dalam panggung. Keheningan itu tiba-tiba diisi oleh rintihan Bongkrek, laki-laki berperawakan kecil berbaju rombeng, “Duh…” dengan nada mengeluh. Mantan mandor pabrik itu mengeluhkan pendirian pabrik yang telah mengubah kultur dan nilai luhur pemakaman. Kebisingan itu juga dirasanya telah mengganggu suasana hening khas pemakaman. “Di sini, diperlihatkan adanya komoditifikasi dari tempat keramat untuk dikomersialkan yang kemudian menyebabkan adanya pengalihan nilai,” terang Ghozali penuh penekanan.
Kemudian, percakapan antara Mbok Seni dan Bongkrek memperjelas kondisi warga komplek sekitar pemakaman. “Wong-wong kene ki saiki podho makmur. Deloken, mas, lampune pathing klencar (Masyarakat sini sekarang makmur. Lihatlah, sudah banyak lampu yang menyala),” ujarnya pada Janoko, lelaki berlogat Ngapak yang hendak meminta doa pada Pak Rebo. Tetapi, pernyataan Mbok Seni segera ditangkis oleh Bongkrek. Jarinya yang dipenuhi cincin besar menuding Mbok Seni seraya berkata bahwa hal itu hanya wujud luarnya saja. Dari luar terlihat kokoh, ketika dilihat ke dalam, ternyata rapuh sama sekali. Hanya sekadar keindahan semu yang dipenuhi kebohongan dan pembodohan.
“Sak plokke pabrik mlebu mbrene, kabeh podho rusak. Wong podho mbisu, mbudegi, miceki,” tuding Bongkrek ke arah panggung kedua yang terletak di atas. Panggung dimana juragan dan pengawalnya beradegan. Artinya, masuknya pabrik telah membawa dampak yang buruk terhadap kondisi masyarakat sekitar. Bahkan, masyarakat menjadi tidak mau dan tidak berani peduli lagi terhadap kondisi tempat tinggalnya sendiri.
Persoalan industrialisasi ranah publik, kemudian direfleksikan oleh Ghozali dengan kondisi kampus UGM sendiri. Menurutnya, seperti adanya pemasangan portal, yang kemudian menjadikan UGM seperti mengasingkan diri. Belum lagi, adanya orientasi produk terhadap penelitian yang dilakukan UGM. “Membuat penelitan harus ada untung, seperti dagangan. Kemudian fungsi pendidikan sebagai peningkat harkat martabat manusia itu dimana,” tegasnya dengan nada bertanya. Ghozali menambahkan, tidak banyak warga UGM yang berani mengemukakan kerisauannya terhadap berbagai kebijakan baru.
“Mahasiswa yang apatis terhadap persoalan kampus, digambarkan seperti Kecik, perempuan tuna susila yang dengan mudahnya dapat diombang-ambingkan dan dimanfaatkan,” analogi Ghozali yang disertai senyum lebar. Mereka yang demikian adalah mahasiswa yang tidak mempunyai dirinya sendiri. Menggantungkan dirinya pada setiap kebijakan yang diberlakukan. Tanpa daya kritis sama sekali.
Ghozali pun mengakui bahwa dipilihnya naskah Leng untuk dipentaskan TGM pada pagelaran FTJ tahun ini, bukan tanpa pertimbangan. “Pertama, kami melihat diri kami sebagai mahasiswa, kemudian membaca situasi kampus yang sedang dihadapi, yakni mengenai industrialisasi dan komersialisasi,” terangnya.
“Teater merupakan media ungkap, dan kami ingin berefleksi atas kondisi kampus kita,” tegasnya. Menurutnya, ruang-ruang dimana nilai-nilai luhur masih dipegang, harus dipertahankan di UGM. Dalam ruang itu, tidak sekadar kelas yang hanya membicarakan indeks prestasi, tetapi belajar hidup yang sesungguhnya. Dengan demikian, meskipun terdapat kebijakan baru, nilai-nilai humanis dan kultural dari UGM semestinya terus terjaga. Akankah?[Nella]