Keberadaan Pulung Gantung telah lama mengikat pikir masyarakat Gunungkidul. Segala permasalahan kerap dikerdilkan semata-mata karena mitos cahaya berekor merah itu. Nyatanya, di balik mitos Pulung Gantung yang mungkin akan selamanya hidup bersama masyarakat, masalah sosial di Gunungkidul acapkali tak terselesaikan. Tak hanya kucuran dana, kerja sama seluruh pihak serta penanganan yang tepat sasaran pada permasalahan nyata juga diperlukan.
Apabila Anda, saat ini, mengalami depresi atau memiliki keinginan untuk bunuh diri, jangan putus asa! Depresi dan gangguan kejiwaan senantiasa dapat sembuh dengan bantuan profesional kesehatan mental dan dukungan dari orang-orang terdekat. Berikut nomor yang bisa dihubungi jika Anda, kerabat dekat, atau orang lain memiliki kecenderungan untuk bunuh diri: 119- lalu tekan 8 (Nomor Darurat Nasional), +62-811-3855-472 (LISA [Love Inside Suicide Awareness] Suicide Prevention Helpline), dan 0812-8156-2620 (Call center Halo Kemenkes).
Agus termenung. Malam itu, seperti biasa, ia sendiri duduk di gubuk bambu dengan jangkrik-jangkrik dalam wadah yang tergantung di pinggangnya. Seharusnya, ia di rumah bersama istrinya, Ningsih, menemani anak semata wayang mereka yang terbaring di ranjang reot karena penyakitnya. Agus putus asa. Kata dukun yang ia datangi, demi menyembuhkan anaknya, Agus harus mencari tumbal sebanyak tujuh orang dan mengakhiri hidup mereka.
Seketika, muncul sebuah cahaya berpendar merah di langit yang akan menuntun Agus menuju tumbal-tumbalnya. Agus rasa, hanya itu langkah yang bisa ia ambil. Pekerjaannya sebagai pemburu jangkrik tentu tidak bisa memberi keluarganya nasi yang hangat. Warga sekitar sudah lebih dari mampu untuk mencari serangga-serangga itu sendiri. Agus tak menyangka. Warga-warga lain yang hendak ia jadikan tumbal ternyata telah kehilangan hidupnya karena alasan yang tak jauh berbeda dari dirinya.
Parmin, penjaga ladang milik orang yang berusia 58 tahun, telah lama hidup sendiri. Kesepian ia rasakan tiap hari karena merindukan anaknya yang merantau jauh di luar desa mereka, Gunungkidul. Sama halnya dengan Sumiati, wanita paruh baya yang menghabiskan nyaris sepuluh tahun hidupnya dengan berbaring di kamarnya karena penyakit yang tak kunjung sembuh. Obat pun tak bisa Bi Sum beli karena kondisi ekonomi yang tak mencukupi. Tentu bukan itu saja yang membuat mereka putus asa. Berbagai kesulitan yang mungkin luput tak tertangani menjadi alasan mereka untuk mengakhiri hidupnya dengan gantung diri.
Cerita tersebut merupakan cuplikan singkat dari kasus bunuh diri di Gunungkidul, Yogyakarta. Film pendek yang berjudul Lamun Sumelang berhasil menyajikan peristiwa bunuh diri di Gunungkidul sebagai suatu fenomena sosial, alih-alih permasalahan individual semata. Dalam film tersebut, dikisahkan seorang pria paruh baya bernama Agus sedang menanti datangnya Pulung Gantung, suatu mitos yang kerap dikaitkan sebagai penanda bahwa ada seseorang yang meninggal karena bunuh diri oleh masyarakat Gunungkidul.
Angka Bunuh Diri Masih Tinggi
WHO menyebut lebih dari 800.000 orang di seluruh dunia meninggal akibat bunuh diri setiap tahunnya. Namun, stigma terkait dengan bunuh diri menyebabkan jumlah kematian sesungguhnya diperkirakan lebih tinggi dari itu. Indonesia sendiri berada pada peringkat keenam di Asia dalam tingkat bunuh diri di Indonesia (Into The Light Indonesia 2020). Pada periode Januari–Juni 2023, Polri melaporkan bahwa terdapat 663 kasus bunuh diri di Indonesia. Angka tersebut meningkat sebesar 36,4% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2021 (486 kasus). Sebagai catatan, provinsi dengan angka bunuh diri tertinggi di Indonesia adalah Jawa Tengah (253), Jawa Timur (128), Bali (61), dan Jawa Barat (39) (Komnas Perempuan 2023).
Beralih ke Gunungkidul, bunuh diri bukanlah suatu hal yang asing di telinga masyarakat Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Kasus bunuh diri di Gunungkidul telah meningkat dari tahun ke tahun. Terdapat 458 kasus bunuh diri dari tahun 2001 hingga 2016. Jika dihitung, rata-rata terdapat 28–29 kasus bunuh diri per tahun dalam 17 tahun terakhir (Yanuwidiasta 2017). Data itu terus bertambah sepanjang tahunnya hingga akhir 2022.
Gambar 1. Statistik Korban Meninggal Akibat Bunuh Diri (Diolah dari IMAJI dan Polres Gunungkidul 2012-2022)
Berpusat di Gunungkidul, berdiri sebuah organisasi yang bernama Inti Mata Jiwa (IMAJI). IMAJI merupakan sebuah organisasi non-pemerintahan yang berfokus pada tindakan preventif bunuh diri dan promosi kesehatan mental. Menurut data IMAJI, peristiwa bunuh diri di Gunungkidul telah terjadi di setiap kecamatan yang ada di jalur utama mobilitas transportasi Gunungkidul. Mulai dari Wonosari, Semanu, Playen, Semin, Karangmojo, Ponjong, Ngawen, Tepus, hingga Girisubo dan Gedangsari.
Masalah Sosial di Gunungkidul
Gunungkidul merupakan salah satu dari empat kabupaten yang ada di Provinsi Yogyakarta. Wilayah ini memiliki kualitas sistem pengairan yang tergolong rendah sehingga menyebabkan tanah di kabupaten ini menjadi kurang subur. Topografinya juga didominasi oleh lahan karst atau pegunungan kapur, khususnya bentang alam Yogyakarta bagian Selatan. Kondisi serta karakteristik Gunungkidul tersebut menjadikan wilayahnya rentan terhadap kekeringan karena tanahnya yang didominasi oleh batu gamping sulit menyimpan cadangan air (Anam Kusumayudha, dan Yudono 2021). Padahal, sumber air yang digunakan oleh masyarakat adalah air dari dalam tanah. Hal ini lantas menyebabkan petani kian sulit untuk mengakses air, apalagi mengairi lahannya (Kandar 2016).
Warga Gunungkidul tak pernah mangkir tiap tahunnya dalam menghadapi bencana kekeringan. Kekeringan paling parah terjadi pada tahun 2015, dengan periode kekeringan yang berlangsung selama tujuh bulan dari bulan Juni hingga Desember (Maheswara dan Winarni 2016). Kondisi ini tentunya berpengaruh pada sektor pertanian yang menjadi tulang punggung perekonomian di Gunungkidul. Selain kekeringan, serangan hama tikus kerap melanda dan merusak hasil panen petani. Tikus-tikus ini menyerang sawah, ladang, kebun, dan rumah-rumah penduduk. Masyarakat lokal menyebutnya sebagai “masa petikusan” (Suwena 2016).
Hingga 2023, masalah kekeringan masih menghantui masyarakat Gunungkidul. Mengutip dari SOLOPOSJOGJA, musim kemarau di Kabupaten Gunungkidul diperkirakan akan berlanjut hingga September 2023, dengan dampak kekeringan yang semakin meluas, seperti gagal panen dan kesulitan mencari pakan ternak. Sayangnya, kesulitan ini direspons Pemda Gunungkidul dengan memangkas anggaran yang signifikan untuk penyaluran air bersih. Per 2023, terjadi sekiranya lebih dari 67% pemangkasan anggaran penyediaan air bersih kepada masyarakat Gunungkidul. Dari yang sebelumnya 700 juta rupiah, dipangkas menjadi 230 juta rupiah.
Selain penanganan bencana yang buruk, Pemda Gunungkidul juga tak serius menangani masalah kesehatan mental masyarakatnya. Pada tahun 2020, DPRD Gunungkidul telah menyiapkan dana sekitar 1,8 miliar untuk mendukung program pencegahan bunuh diri (Attamimi 2019). Namun, hasil nyata yang dapat dilihat dari penganggaran dana tersebut masih belum terlihat. Rupanya, DPRD menganggarkan biaya tersebut untuk penanganan penyakit tak menular sehingga dana tersebut dipakai untuk menangani penyakit lain, seperti jantung, stroke, dan diabetes.
Selain masalah dana yang tak tepat sasaran, peran Satuan Petugas (Satgas) Berani Hidup yang dibentuk oleh Pemda Gunungkidul untuk menangani angka bunuh diri yang tinggi pada tahun 2016 ikut menjadi sorotan. Tugas Satgas Berani Hidup untuk melakukan tindakan preventif, memetakan masyarakat yang mengalami gejala depresi atau gangguan jiwa, serta merehabilitasi dampak peristiwa bunuh diri dapat dibilang tidak begitu progresif. Pergerakannya bahkan sedikit susah dilacak karena kerap berhenti. Hal ini sempat disampaikan oleh salah satu relawan IMAJI yang bernama Wage Daksinarga. Ia menyayangkan kerja dari Satgas Berani Hidup sendiri yang masih amat minim dan tidak terdeteksi (Aprita 2021). Menurutnya, aktivitas Satgas Berani Hidup seharusnya tidak berhenti di rapat-rapat saja, tapi juga mengatasi penyebab banyaknya angka bunuh diri di Gunungkidul secara nyata. Anggotanya juga lebih baik jika diisi oleh orang-orang yang mampu serta tahu mengenai kesehatan mental. Namun, pada kenyataannya, tampaknya belum seperti itu.
Perlu Keterlibatan Seluruh Elemen Masyarakat
Sekelumit masalah di atas menjadi pemicu bunuh diri yang kompleks. Tanpa adanya kepedulian terhadap pelbagai masalah yang telah disebutkan di atas, bunuh diri akan terus-menerus dikaitkan dengan Pulung Gantung, dan yang lebih parahnya jika disebut sebagai masalah individual semata (Imaji 2017). Dalam wawancara yang pernah dilakukan oleh Ali dan Soesilo (2021), masyarakat Gunungkidul mengungkapkan bahwa mereka memiliki alasannya tersendiri untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Salah satu partisipan terkait mengaku bahwa dorongan untuk bunuh diri berasal dari kehidupan susah yang mereka alami. Ia membagikan kisahnya yang mengalami kesulitan ekonomi dan terlilit utang karena hanya dialah satu-satunya orang yang bekerja di dalam keluarganya.
Tak bisa lagi dihindari, depresi kerap menyerang psikis masyarakat Gunungkidul. Berbagai masalah yang menghinggapi aktivitas keseharian membuat mereka putus asa dan tidak tahu cara mencari jalan keluarnya. Berdasar dari catatan pihak kepolisian serta medis setelah melakukan visum pada kejadian bunuh diri di Gunungkidul, dapat dinyatakan bahwa faktor risiko yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak bunuh diri antara lain: depresi sebesar 43%, sakit fisik yang tidak kunjung sembuh sebesar 26%, alasan yang tidak teridentifikasi sebesar 16%, gangguan jiwa sebesar 6%, masalah ekonomi sebesar 5%, dan, terendah adalah, masalah keluarga sebesar 4%.
Penyakit menahun yang diderita oleh mayoritas masyarakat Gunungkidul juga menjadi salah satu alasan yang menekan kondisi psikis mereka. Beberapa masyarakat yang telah mengakhiri hidupnya dengan melakukan tindakan bunuh diri mengidap penyakit kronis yang sudah bertahun-tahun tidak kunjung sembuh selama hidupnya. Jenis penyakitnya pun beragam, ada yang menderita penyakit jiwa, seperti depresi berat, hingga diabetes dan stroke. Masyarakat yang berpartisipasi dalam wawancara yang pernah dilakukan Ali dan Soesilo (2021) juga menceritakan penyakit lumpuh dan disfungsi pencernaan yang mereka alami; sampai-sampai, mereka harus dibantu untuk mengeluarkan kotorannya dengan sendok selama enam bulan.
Gunungkidul tak hanya menjadi saksi bisu masyarakatnya bertahan melawan kekeringan, tapi juga kurangnya perhatian pemerintah dan elemen masyarakat lainnya dalam penanganan bunuh diri. Maraknya bunuh diri adalah cerminan dari keterpurukan sosial yang mendalam dan lebih memprihatinkan. Masalah ekonomi, penyakit menahun, dan tekanan psikologis merajalela, tetap eksis tanpa penanganan holistik. Sebuah tindakan penyelesaian hingga akar yang lebih konkret dan terpadu diperlukan. Bukan hanya sebagai respon terhadap krisis, tetapi sebagai solusi jangka panjang bagi seluruh masyarakat Gunungkidul.
Keluarga dan lingkungan terdekat seperti sekolah dan tempat bekerja dapat menjadi ruang aman bagi individu. Dengan mengurangi adanya stigma negatif terhadap orang yang mengalami depresi atau gangguan jiwa, individu dapat lebih leluasa untuk terbuka mengenai masalahnya. Bersikap lebih peka terhadap lingkungan sekitar juga dapat membantu mencegah peristiwa bunuh diri semakin menjamur di kalangan masyarakat.
Penulis: Nadia R. Chairina
Penyunting: Vigo Joshua
Ilustrator: M. Rafi Pahrezi
Daftar Pustaka
Anam, Mufi Bustomi, Sari Bahagiarti Kusumayudha, dan Andi Renata Ade Yudono. 2021. “Pengelolaan Mata Air Karst Sebagai Sumber Air Domestik Di Dusun Duwet, Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta.” Jurnal Mineral, Energi, Dan Lingkungan 4 (2): 57–70. https://doi.org/10.31315/jmel.v4i2.3670.
Aprita, Alexander. 2021. “Pergerakan Satgas Berani Hidup untuk Tekan Angka Kasus Bunuh Diri di Gunungkidul Terbilang Minim.” Tribunjogja.com. 2 Maret 2021. https://jogja.tribunnews.com/2021/03/02/pergerakan-satgas-berani-hidup-untuk-tekan-angka-kasus-bunuh-diri-di-gunungkidul-terbilang-minim.
Aris Eko Nugroho, dir. 2021. Film Pendek – LAMUN SUMELANG (2019).
.
Attamimi, Nadhir. 2019. “Dewan Anggarkan Rp 1,8 Miliar untuk Pencegahan Bunuh Diri.” 28 November 2019. https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2019/11/28/513/1025911/dewan-anggarkan-rp-18-miliar-untuk-pencegahan-bunuh-diri.
I Wayan Suwena. 2016. “BUNUH DIRI: Sesat Penandaan Pulung Gantung di Gunungkidul.” Universitas Gadjah Mada. https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/98983.
IMAJI. 2017. “Mengapa Seseorang Melakukan Bunuh Diri? – IMAJI.” 2017. https://imaji.or.id/mengapa-seseorang-melakukan-bunuh-diri/.
Komnas Perempuan, Komnas Perempuan. 2023. “Siaran Pers.” Komnas Perempuan | Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta, Oktober 2023. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-hari-kesehatan-jiwa-sedunia-2023.
Maulana Ali, Tatag, dan Aloysius Soesilo. 2021. “Studi Kasus Tentang Bunuh Diri DI Gunung Kidul: Antara Realitas Dan Mitos Pulung Gantung | Tatag Maulana Ali – Academia.edu.” Januari 2021. https://www.academia.edu/53180055/Studi_Kasus_Tentang_Bunuh_Diri_DI_Gunung_Kidul_Antara_Realitas_Dan_Mitos_Pulung_Gantung.
“Pedoman Pemberitaan Bunuh Diri Untuk Jurnalis | Into The Light Indonesia.” 2020. 19 Juni 2020. https://www.intothelightid.org/tentang-bunuh-diri/pedoman-pemberitaan-bunuh-diri/.
Yanuwidiasta, J. 2017. “Menelisik Data dan Fakta Bunuh Diri di Gunungkidul 2001-2017 – IMAJI.” 2017. https://imaji.or.id/menelisik-data-dan-fakta-bunuh-diri-di-gunungkidul-2001-2017/.