Insist Press bersama Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM pada Selasa (11-02) menggelar diskusi dan peluncuran buku Petani dan Seni Bertani: Maklumat Chayanovian. Peluncuran buku yang diterjemahkan dari karya Jan Douwe van der Ploeg ini bertempat di Auditorium Mubyarto Magister Ekonomika Pembangunan UGM. Pemateri diskusi adalah Ben White, peneliti Initiatives in Critical Agrarian Studies; Qomarun Najmi, Pendiri Sekolah Tani Muda; dan dimoderatori oleh Laksmi Andriani Savitri.
Sebagai pengantar, Laksmi, yang merupakan penyunting ahli buku ini, menyampaikan bahwa Ploeg berfokus pada struktur dan dinamika pertanian serta hubungan historis yang sangat bervariasi. Hubungan ini mengatur proses kerja dan produksi dalam pertanian. Laksmi menyampaikan, bagi Ploeg buruh tani dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan produksi pangan dan menciptakan keberlanjutan, tetapi saat ini secara materiel diabaikan. “Dengan mengembangkan pemikiran Chayanov, Ploeg berupaya mengatasi pengabaian buruh tani dan menunjukkan betapa pentingnya petani dalam perjuangan, keberlanjutan, dan kedaulatan pangan,” ujarnya.
Sebagai akademisi, Ben White memaparkan kajian agraria kritis dari Marx, Lenin, dan Chayanov. Ia mengemukakan konsep Marx mengenai petani kecil dalam proses komodifikasi pertanian pedesaan. Selanjutnya, White menjelaskan perspektif Lenin dan Chayanov tentang diferensiasi kelas petani di area rural yang terbagi menjadi dua, yaitu borjuis rural dan proletar rural. Meskipun diferensiasi kelas tercipta, Chayanov menganggap proletar rural bisa bertahan di tengah kapitalisme.
Kemudian, White melanjutkan bahwa anggapan Chayanov tersebut dapat terwujud dengan mengembangkan model usaha tani keluarga. Bagi Chayanov, petani kecil yang menerapkan model usaha tani keluarga menjadi lebih efisien dan efektif. Model usaha tani keluarga adalah model pertanian yang mengelola segala jenis bahan makanan baik pertanian, kehutanan, atau perikanan oleh keluarga. “Data statistik dari FAO menyebutkan bahwa model usaha tani keluarga menghasilkan 80 persen hasil pangan dunia,” terang White.
Terkait relevansinya dengan pertanian di Indonesia, Qomarun Najmi mencoba menjawab kritik Thorner dalam buku ini. Thorner mengatakan bahwa Chayanov sendiri mengakui teorinya bekerja lebih baik pada negara berpopulasi kecil ketimbang yang berpopulasi padat. Menurut Qomar, buku ini tetap relevan untuk keadaan di Indonesia yang berpopulasi besar, tetapi dengan penyesuaian. Penyesuaian untuk teori Chayanov ini adalah dengan melihatnya dari pendekatan yang berbeda, yaitu bagaimana mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada secara kualitas dan kuantitas. “Identifikasi potensi sumber daya dapat dimulai dari aspek yang paling kuat dahulu, bisa dari segi intelektual, sosial, maupun aspek lain,” tegas Qomar.
Pada sesi tanya jawab, Baning, petani dari Kulonprogo, mempertanyakan mengapa program pemerintah yang dibalut wacana-wacana arus utama seperti model usaha tani Chayanovian tidak terealisasikan dengan baik. Ben White menanggapi dengan mencontohkan kasus Komite Nasional Pertanian Keluarga yang tidak memiliki anggaran memadai, kegiatan tidak berkelanjutan, dan tidak mendukung kesejahteraan petani kecil. Dia memberi contoh lain pada program UN Family Farming. Menurutnya, program ini dianggap “ramah petani”, tetapi di sisi lain PBB tetap membiarkan perusahaan-perusahaan multinasional merampas lahan pertanian secara besar-besaran. Selain itu, mereka tidak mengambil tindakan atas sistem pertanian kontrak di berbagai negara yang sangat merugikan petani kecil. “Yang dibutuhkan negara-negara itu, termasuk Indonesia, adalah perumus kebijakan yang serius membendung ruang gerak modal usaha kapitalis,” tandasnya.
Penulis: Tiara Putri Mayzati
Penyunting: Ayu Nurfaizah