Rabu (27-11), puluhan orang memadati Auditorium Mandiri yang berlokasi di lantai 4 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM). Korps Mahasiswa Komunikasi UGM tengah melaksanakan diskusi bulanan dengan tajuk “Mencari Kebenaran di Era Pasca-Kebenaran”. Diskusi ini menghadirkan Fahri Salam, Septiaji Eko Nugroho, dan Zainuddin Muda Z. Monggilo sebagai pembicara. Nadia Intan Fajarlie, mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM sebagai moderator dalam diskusi ini.
Nadia mengawali diskusi dengan memaparkan secara singkat tema diskusi. Nadia menjelaskan bahwa diskusi ini diadakan untuk merespon fenomena banjir informasi yang tengah terjadi saat ini. “Banjir informasi membuat orang-orang lebih mudah menyebarkan informasi tanpa memverifikasi terlebih dahulu kebenaran dari informasi itu sendiri,” ucap Nadia. Kemudian, Zainuddin, dosen Ilmu Komunikasi UGM, mulai memaparkan presentasinya dan menyebut fenomena banjir informasi ini dengan era post-truth.
Melalui presentasinya, Zai mendefinisikan post-truth sebagai keadaan di mana preferensi pribadi lebih berpengaruh dibanding fakta objektif dalam membentuk opini publik. Zai menuturkan bahwa dalam kondisi post-truth, setiap orang dapat menjadi produsen pesan. “Hal ini disebabkan karena setiap orang dapat mengakses internet dan media sosial dengan mudah,” kata Zai. Akibatnya, akan sulit membedakan apa yang benar dan apa yang salah. Zai menambahkan bahwa ini juga akan berimplikasi pada menguatnya sinisme dan ketidakpercayaan di publik.
“Post-truth akan menimbulkan kekacauan informasi,” tutur Zai. Zai menjabarkan bahwa terdapat tiga jenis kekacauan informasi yakni misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Misinformasi adalah penyebaran informasi yang salah, sementara yang menyebarkan tidak mengetahui kalau informasi itu salah. Disinformasi adalah penyebaran informasi yang salah, akan tetapi yang menyebarkan sudah mengetahui kalau informasi itu salah. Malinformasi adalah penyebaran informasi yang benar, namun diperuntukkan untuk mengancam orang atau kelompok tertentu.
Septiaji Eko Nugoro, yang akrab disapa Aji, menekankan pentingnya literasi digital untuk meredam kekacauan informasi. Pendiri Masyarakat Anti Fitnah Indonesia ini menilai bahwa kurangnya literasi digital membuat masyarakat menerima begitu saja informasi yang beredar tanpa melakukan penilaian terlebih dulu. Selain itu, Aji berpendapat bahwa maraknya kekacauan informasi juga disebabkan oleh menurunnya kualitas jurnalisme. “Media-media konvensional berlomba-lomba menyebarkan berita tanpa memperhatikan akurasi dari berita yang disebarkan,” tegas Aji.
Menyambung pemaparan Aji, Fahri Salam justru mempertanyakan alasan kekacauan informasi masih terus terjadi sampai saat ini. Menurut editor Tirto.id ini, kekacauan informasi amat mudah menghasilkan keuntungan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. “Kekacauan informasi itu rentan disetir oleh siapa pun yang berkuasa untuk menguntungkan individu atau kelompok tertentu,” ucap Fahri.
Merespon maraknya kekacauan informasi akibat menurunnya mutu jurnalisme, Fahri menilai bahwa sudah menjadi tugas jurnalis untuk menjernihkan itu. Jurnalis dituntut untuk selalu menerapkan disiplin verifikasi ketika hendak memproduksi berita. “Pers harus mampu memainkan perannya sebagai salah satu pilar demokrasi,” ucap Fahri.
Tidak hanya menjadi tugas jurnalis semata, Aji berpendapat bahwa kekacauan informasi semestinya menjadi perhatian bersama. Maka, menurut Zai, setiap konsumen informasi harus skeptis dengan informasi yang dikonsumsi. Sejalan dengan itu, Aji menilai bahwa partisipasi setiap orang amat penting untuk menekan kekacauan informasi. “Dengan demikian, upaya memberantas kekacauan informasi harus dimulai dari diri kita sendiri,” ujar Zai.
Penulis: Harits Arrazie
Penyunting: Cintya Faliana