“Akar dari penindasan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) sama dengan penindasan perempuan, yakni kapitalisme,” ucap Mahe. Ia menyampaikan itu saat memantik diskusi bertajuk “Akar Penindasan dan Perjuangan Pembebasan LGBT” di Earth Cafe, Kamis malam (9-3). Kesamaan akar penindasan pada kedua entitas tersebut membuat Kongres Politik Organisasi-Perjuangan Rakyat Pekerja Yogyakarta memasukkan diskusi ini dalam rangkaian perayaan Hari Perempuan Internasional.
Kapitalisme muncul dengan menawarkan kebebasan lebih dibanding pada masa sebelumnya. Kebebasan ini memberikan keberanian bagi individu untuk mengekspresikan diri sebebas-bebasnya. “Itulah mengapa ekspresi-ekspresi yang tertutup saat masa feodalisme kemudian muncul. Termasuk ekspresi seksual,” ungkap Mahe.
Ekspresi seksual kaum LGBT dianggap menyimpang. Mahe mengatakan bahwa anggapan itu muncul karena tidak sesuai dengan konsep keluarga batih. Keluarga batih merupakan keluarga ideal yang terdiri dari suami (laki-laki), istri (perempuan), dan anak. Laki-laki melakukan peran produksi sebagai pencari nafkah, dan perempuan melakukan pekerjaan domestik dengan peran reproduksi sebagai penghasil keturunan.
Para borjuis mempropagandakan konsep keluarga batih pada pertengahan abad sembilan belas. Propaganda bertujuan agar keluarga menghasilkan keturunan yang akan berperan sebagai tenaga kerja di masa depan. Bila ekspresi seksual kaum LGBT dianggap wajar, maka akan marak terjadi hubungan seksual sesama jenis. Hal ini berpotensi mengurangi persediaan tenaga kerja di kemudian hari karena keluarga tidak menghasilkan keturunan. Pewarisan kekayaan antargenerasi juga tidak akan berjalan. “Ini akan mengganggu proses akumulasi kapital para kaum borjuis,” kata Mahe.
Penyimpangan dari konsepsi ideal yang dikonstruksikan tersebut juga berimbas pada adanya represi terhadap kaum LGBT. Masa kapitalisme menjadi awal adanya represi terhadap LGBT. Pada prakapitalisme, hanya ada pelarangan aktivitas seksual yang non-prokreasi (tidak menghasilkan keturunan), semacam oral dan anal seks. “Baru pada masa kapitalisme, mulai terjadi pelarangan dalam hal identitas, ekspresi, hingga orientasi seksual,” ucap Mahe.
Salah satu bentuk represi tersebut adalah adanya diskriminasi kaum LGBT pada dunia kerja. Mahe mencontohkan transgender yang terpaksa mengamen hingga menjual diri karena tidak mendapatkan pekerjaan akibat diskriminasi itu. “Mereka punya hak layaknya kita yang heteroseksual. Mereka juga memiliki hak pendidikan, hak akses terhadap kesehatan, dan hak akses fasilitas publik lainnya,” tambahnya.
Angelina (bukan nama sebenarnya), salah satu mahasiswa UGM yang mengikuti diskusi, mengamini perkataan Mahe. “Saya berharap mereka bisa mendapatkan kebebasan personalnya, seperti yang lain,” katanya. Elisa (bukan nama sebenarnya), peserta diskusi lainnya, menambahkan bahwa orientasi seksual merupakan ranah privat, tidak berhak diintervensi oleh orang lain. Baginya, penyimpangan orientasi seksual juga bukan sepenuhnya kesalahan kaum LGBT. “Seorang perempuan menjadi lesbian bisa jadi karena trauma mengalami kekerasan dari laki-laki saat kecil. Alhasil, dia benci kepada laki-laki saat dewasa,” tambahnya.
Perlakuan diskriminatif yang diperoleh kaum LGBT memicu munculnya perlawanan. Kendati demikian, menurut Mahe, strategi perlawanan kaum LGBT masih keliru. Perlawanan LGBT saat ini terlalu bersifat legal-formal, yakni cenderung melakukan lobi-lobi ke pemerintah. “Mereka melupakan sejarah perlawanan LGBT yang berawal dari gerakan massa,” terangnya. Padahal, massa penting dalam sebuah perlawanan. Ia mencontohkan aksi solidaritas kaum LGBT dengan buruh tambang di Inggris yang kemudian menghasilkan revolusi karena topangan massa yang melimpah. “Melakukan lobi ke pemerintah tidak cukup untuk menghilangkan akar penindasan terhadap LGBT, mereka juga harus menghimpun massa yang sebesar-besarnya,” pungkasnya. [Faizah Nurfitria, Rosalina Woro Subektie]
1 komentar
[…] https://www.balairungpress.com/2017/03/kapitalisme-tonggak-represi-kaum-lgbt/ […]