“Kalau besok petugas datang untuk mengukur tanah, jangan takut untuk menolak, itu hak kita sebagai pemilik tanah,” ujar Martono mantap. Siang itu (23/11) ia dan enam petani yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) bercakap serius di sebuah lincak bambu. Mereka baru saja menghadiri sosialisasi pematokan lahan calon bandara di Balai Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulon Progo. Dalam percakapan ini, Martono menekankan bahwa WTT harus dengan tegas menolak pematokan lahan.
Sesuai rencana, pematokan lahan calon bandara Kulon Progo dimulai hari ini (24/11). Langkah pematokan diawali dengan sosialisasi yang telah dilakukan sehari sebelumnya. Sosialisasi ini diselenggarakan atas kerjasama Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Sekretaris Daerah (Sekda) Kulon Progo, pihak kejaksaan dan perwakilan dari PT. Angkasa Pura.
Dalam sosialisasi ini, Sekda Kulon Progo Astungkoro, M.Hum. menjelaskan bahwa selama tiga puluh hari ke depan proses pematokan lahan akan berlangsung. Pematokan akan melibatkan lima belas tim penilai tanah yang bekerja di lima desa terdampak pembangunan. Masing-masing tim terdiri dari dua orang. Namun, khusus Desa Glagah yang memiliki wilayah terbesar akan dikerahkan lima tim untuk mengukur tanah. “Tiap hari satu tim ditargetkan mengukur dua puluh bidang tanah,” terang Rudi Priyatna, staff BPN Kantor Wilayah Kulon Progo,.
Sesuai dengan UU No 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk fasilitas umum, proses pematokan dibarengi dengan penyerahan bukti kepemilikan properti. Bukti kepemilikan ini akan dipakai tim penilai tanah untuk menentukan jumlah ganti rugi yang akan dibayarkan. Menurut Astungkoro, ada dua kemungkinan bentuk penggantian lahan warga. Pertama, penggantian berupa uang yang akan dikirimkan lewat rekening warga. Mekanisme ini terutama diperuntukkan bagi warga yang selama ini menempati Pakualaman Ground (PAG). Kedua, relokasi lahan di tanah yang telah disiapkan pemerintah. Sejauh ini, baru 21 hektar tanah yang siap digunakan sebagai lahan relokasi. Astungkoro menjelaskan lahan ini merupakan tanah kas desa yang masih berada dalam wilayah Kecamatan Temon.
Menanggapi rencana tersebut, sejumlah warga masih menyangsikan ganti rugi yang disiapkan pemerintah. Menurut salah satu warga, Edi Susilo Yuwono, pemerintah tidak boleh lepas tangan begitu ganti rugi diberikan. Pemerintah wajib memberi jaminan masa depan bagi petani yang harus beralih profesi begitu bandara dibangun. “Uang dan tanah dari pemerintah itu tidak bisa menjamin bahwa warga bisa sejahtera ke depannya,” ujar Edi.
Sementara itu, WTT tetap tak mau berkompromi. Lewat pernyataan sikap yang dibacakan di tengah acara sosialisasi, WTT menghimbau tim apraisal untuk tidak melakukan pengukuran di tanah milik petani WTT, makam dan tempat ibadah. Terkait penolakan ini, Sekda Kulon Progo mengaku tak ada masalah. Pihaknya akan bekerjasama dengan aparat (keamanan, red.) untuk memastikan semua lahan diukur sesuai dengan ketentuan undang-undang. “Semua pasti diukur kok, kan ada aparat,” terang Astungkoro usai acara sosialisasi. Mendengar keterlibatan aparat dalam proses pengukuran, Martono menanggapinya dengan serius. Ia akan mengerahkan petani untuk mengawal proses pematokan. “Saya tidak ingin ada tindakan pemaksaan dari petugas,” tegasnya. [Ganesh Cintika Putri]