Kelompok petani Wahana Tri Tunggal (WTT) melakukan aksi pura-pura mati di depan gedung DPRD DIY pada (26/10). Aksi tersebut dilakukan sebagai simbol penolakan atas rencana pembangunan Bandara di Kulonprogo. Dalam aksi tersebut mereka menuntut agar pemerintah provinsi segera mencabut Izin Penetapan Lahan (IPL) yang telah diterbitkan pada 31 Maret lalu. Lewat aksi ini WTT ingin menunjukkan bahwa pembangunan bandara akan mematikan ratusan keluarga petani di Temon. Menurut Martono selaku ketua WTT, selama ini media menyebutkan bahwa jumlah petani penolak bandara tak lebih dari 40 Kepala Keluarga (KK). “Sekarang media harus lihat, ada ratusan petani disini. Saya bawa 300 sertifikat mereka sebagai bukti,” jelas Martono selaku Ketua WTT.
Sebelumnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DIY memenangkan WTT dalam gugatan IPL Bandara. Namun, 29 September lalu Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Pemda DIY. Alhasil, pembangunan Bandara Kulon Progo tetap berlanjut.
Menurut humas Angkasa Pura, Aryadi, wilayah Temon akan digubah menjadi Airport City. Wilayah itu nantinya akan menjadi pusat industri, pusat perbelanjaan, serta tujuan wisata yang baru. Jika rencana ini diwujudkan, AB Widyanta, Dosen Sosiologi, mengkhawatirkan luas lahan pertanian yang dikonversi akan makin besar. Artinya, makin banyak orang yang harus beralih profesi. Menurutnya, harus ada antisipasi yang dilakukan jika bandara benar-benar dibangun. “Penyiapan warga untuk beralih profesi jadi pilihan terakhir yang harus diambil,” terangnya.
Sementara itu, Warsiyah, salah satu warga Temon yang ikut aksi Senin lalu, pesimis dengan alih profesi ini. Menurutnya, tidak semua petani bisa berubah jadi wirausaha atau pegawai pabrik. “Petani yang berumur 50 tahun tidak mungkin diterima jadi pegawai Angkasa Pura,” sebutnya. Usai aksi pura-pura mati, Warsiyah dan ratusan petani lainnya menyuarakan kekhawatiran ini pada DPRD DIY.
Menyikapi keluhan tersebut, Dharma Setiawan, Wakil Ketua DPRD DIY menjanjikan untuk terus memperjuangkan kasus Bandara Kulonprogo melalui DPRD. Namun ia menegaskan bahwa perjuangan tersebut tidak harus melalui pencabutan IPL. Menurutnya, pemerintah eksekutif harus mengkomunikasikan urgensi pembangunan bandara secara baik-baik pada warga Temon. “Mari kita diskusikan bersama-sama bagaimana baiknya,” ujarnya.
Usai dengar pendapat dengan DPRD, petani WTT memberikan sebagian hasil pertanian kepada Dharma untuk dibawa pulang. Beberapa diantaranya adalah cabai, terong, dan semangka yang dibungkus dengan karung. Hal tersebut mereka lakukan untuk menunjukkan bahwa lahan yang mereka garap saat ini adalah lahan produktif.
Santos Muhammad, Koordinator Aksi menambahkan, penolakan rencana pembangunan bandara juga dilakukan dengan aksi mogok makan di DPRD DIY. Rangkaian aksi yang berlangsung selama 15 hari ini, dilakukan untuk mendesak agar pemerintah segera mencabut surat keputusan No 68/KEP 2015 tentang IPL Bandara. Namun, Dharma menghimbau para petani agar tidak melakukan aksi tersebut. “Hal tersebut tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah,” ujarnya kepada warga. Santos pun menanggapi bahwa aksi mogok makan ini sudah mendapat izin. [Lamia Putri Damayanti]