UGM kembali merelokasi PKL di lingkungan kampus. Setelah Lembah, kini giliran PKL Agro yang menjadi korban. Penolakan mengemuka dari berbagai pihak.
Lalu lalang kendaraan terlihat riuh di Jalan Agro, utara Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Beberapa menyempatkan berhenti di kios-kios Pedagang Kaki Lima (PKL) di pinggir jalan. Sore (12/4) itu sebuah sepeda motor berhenti di depan kios koran yang terbuat dari bambu. Pemilik motor segera menghampiri seorang wanita dan menyerahkan uang lalu pergi membawa segulung koran.
Wanita itu adalah Anastasia Rudiyati. Sejak 2001 ia menggantikan adiknya yang dulu menjadi PKL menjual koran dan majalah. “Adik saya berjualan di sini karena katanya masyarakat sekitar boleh memanfaatkan lahan ini untuk bekerja,” terang Ana.
Selain Ana, 13 pedagang kaki lima lainnya turut menjajakan dagangannya di daerah jalan Agro ini. Mulai dari paling barat yang berjualan bensin eceran sampai warung penyetan di ujung timur. Ada pula yang berjualan pulsa dan beberapa jenis tanaman. Mayoritas PKL di daerah ini memiliki kios masing-masing. Kios mereka rata-rata terbuat dari terpal, bambu yang sudah lapuk dan beralaskan tanah. “Puluhan tahun lalu, saat pertama kali berjualan, kami memang membuat kios sendiri,” ungkap Ana.
Sejak krisis moneter 1998, semakin banyak warga yang memanfaatkan lahan kosong di Jalan Agro untuk berdagang. Menurut Ana, pada era kepemimpinan rektor Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri, SH ML, kesejahteraan PKL sangat terjamin. Rakyat bebas memanfaatkan lahan UGM untuk menafkahi keluarga. Namun pada 2010, sebuah surat dilayangkan kepada ketua paguyuban PKL di Jalan Agro. Surat dari Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA) ini berisikan rencana relokasi PKL di sepanjang Jalan Agro. Dalam surat yang dikeluarkan DPPA, alasan relokasi terkait dengan pembangunan tempat parkir di Jalan Agro.
Menurut rencana DPPA, Ana dan PKL lainnya akan direlokasi ke Pusat Jajanan Lembah (Pujale). Namun, ketiga belas PKL ini harus mengubah jenis dagangannya menjadi kuliner. Pedagang yang telah bertahun-tahun berkutat di bidang non-kuliner mengeluhkan kebijakan ini. Menurut Sofyan Adi, ketua paguyuban PKL Agro, UGM tidak bisa semena-mena mengubah bidang usaha PKL. Setiap PKL memiliki keahlian sendiri. “Masak yang biasa jual bensin, harus jual makanan. Kan tetap tidak bisa dipaksakan,” tukas Sofyan.
Selain alasan jenis dagangan, PKL Agro takut kehilangan pelanggan. Selama ini pelanggan telah familiar dengan lokasi dagangan mereka. Jika PKL dipindah ke Pujale, ditakutkan pelanggan berkurang. Menurut Sofyan, kekhawatiran ini muncul karena letak kios Pujale ada di dalam parkiran lembah, bukan di tepi jalan. “Kalau kami berjualan di Pujale, nanti orang tahunya itu kantin UGM bukan kios umum,” terang Sofyan.
Penolakan juga datang dari pihak pedagang Pujale. “Kami di Pujale saja masih sepi dan persaingan antar pedagang sangat terasa. Apa jadinya kalau PKL Agro juga pindah kesini,” ujar Yoga Adi Pratama, Ketua Paguyuban Pujale.
Pedagang Pujale semula terdiri dari 22 PKL di sepanjang jalan depan Fakultas Hukum. Mereka direlokasi pada 2010 untuk menertibkan kondisi jalan Sosio Yustisia sekaligus untuk menyejahterakan PKL. Namun, rencana relokasi PKL Agro justru dianggap mengancam kesejahteraan pedagang di Pujale. Adi menerangkan bahwa 22 kios di Pujale telah menawarkan aneka hidangan kuliner. Jika memang PKL Agro akan direlokasi ke Pujale, lebih baik jenis produk yang dijual berupa non-kuliner . “Bagaimana PKL mau sejahtera jika UGM justru menciptakan persaingan baru,” ungkap Adi retoris.
Penolakan PKL Agro untuk direlokasi ini diakomodir oleh Forum Mahasiswa Advokasi (FORMAD) UGM. Bhirawa J. Arifi yang menjadi Koordinator FORMAD UGM mengatakan bahwa kepentingan PKL ini layak dibela. Sebagai kampus kerakyatan, seharusnya UGM harus memperhatikan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan masyarakat secara langsung. Bhirawa menjelaskan bahwa PKL Agro tidak memiliki sertifikat yang sah terhadap tanah yang mereka tempati. “Namun, pembelaan FORMAD memang bukan berdasar hukum, lebih berdasar pada alasan humanis,” jelas Bhirawa.
Pihak rektorat sendiri belum memberi tanggapan atas isu ini. Menurut Sofyan, justru PKL Agro yang lebih siap terhadap rencana relokasi. PKL Agro dibantu FORMAD mengajukan solusi lain untuk isu ini. Relokasi tetap dilaksanakan, hanya saja tujuannya bukan Pujale. “Kami meminta sepetak tanah berbentuk segitiga di sebelah timur kami berjualan sekarang,” tukas Sofyan. Di sepetak tanah ini, tiga belas pemilik kios setuju untuk membuat kios yang lebih rapi, tertata dan semi permanen. Bahkan, PKL Agro dibantu FORMAD telah membuat desain bangunan jika rencana ini disetujui DPPA.” Dalam desain ini, telah disiapkan parkiran agar keberadaan PKL tidak menganggu lalu lintas di Jalan Agro,” terang Bhirawa
PKL Agro mengharapkan DPPA segera menyetujui rencana ini. PKL bahkan siap untuk menyiapkan dana jika DPPA tidak mampu mencarikan sponsor bagi PKL Agro. Sofyan selaku ketua Paguyuban PKL Agro meminta rektorat untuk segera membuat draft resolusi kasus ini. Menurut Sofyan, selama ini DPPA terlihat mengulur-ulur permasalahan. Setiap rapat yang diadakan antara PKL Agro dan DPPA tidak pernah menghasilkan keputusan apa pun. Keseriusan DPPA terhadap nasib PKL pun dipertanyakan. “Katanya kampus kerakyatan, tapi kok tidak merakyat ya,” keluh Sofyan. [Ganesh Cintika, I Nyoman Agus Aryawan]