“Stop using word ‘autis’ in daily joke!”. Pesan ini yang disampaikan dalam peringatan Hari Peduli Autis Sedunia setiap 2 April. Peringatan tahun ini baru yang ketiga kalinya setelah PBB menetapkan tanggal tersebut pada 2008. Selama ini terminologi ‘autis’ sudah biasa menjadi bahasa candaan. Kata ini biasa ditujukan pada orang yang sedang asyik dengan dunianya sendiri sehingga tidak peduli dengan sekelilingnya.
Autis merupakan gangguan perkembangan pada anak yang mulai tampak sebelum ia berusia tiga tahun. Penderita autis cenderung tidak peduli terhadap lingkungan sekitar, bermain sendiri, sulit berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Ia sulit memahami bahasa sehingga komunikasi secara verbal sukar dijalin. Emosinya labil, perilakunya hiperaktif, bahkan kadang marah dan menangis.
Belakangan, perilaku sejumlah orang yang sudah kecanduan bermain smartphone, game online, atau bahkan membaca buku kerap dijuluki ‘autis’. Ini merujuk pada sikap mereka yang asyik sendiri dan mengabaikan sekelilingnya. Penggunaan kata autis di sini barangkali ada kesamaan unsur dengan kata alienasi. Alienasi juga mengandung makna kesendirian, tetapi kesendirian yang asing, keterasingan. Pecandu teknologi komunikasi ini bukan terasing, melainkan mengasingkan diri. Mereka punya lingkungan sosial yang bisa diajak berinteraksi, tetapi lebih memilih asyik dengan dunia virtual.
Kata ‘gila’, misalnya, bisa dimaknai sebagai penyakit kejiwaan, kurang akal. ‘Gila’ juga bermakna gandrung, seperti ‘gila bola’. ‘Gila’ sudah sedemikian biasa kita gunakan. Tidak ada yang marah kalau kita mengumpat “Gila!” ketika mendengar ide ngawur dari seorang teman. Bahkan ‘gila’ juga bisa mengekspresikan keheranan yang mengandung kekaguman seperti ketika melihat atraksi sirkus yang atraktif sekaligus membahayakan. Seperti gagasan Foucault dalam History of Madness bahwa gila tidak hanya diukur secara empiris, tapi juga melibatkan norma sosial di sekelilingnya.
Pengunaan kata autis kini dipermasalahkan berpangkal dari kurangnya pemahaman tentang penyakit autis. Ada yang punya pemahaman bahwa autis sama dengan idiot. Padahal keduanya berbeda. Kebanyakan anak autis berintelegensi normal. Sebagian dari mereka justru luar biasa berbakat di berbagai bidang, seperti, bermain musik dan menggambar. Karena dianggap sebagai penyakit, penggunaan kata ‘autis’ bermakna peyoratif. Orang normal pecandu teknologi komunikasi yang lantas menjadi asosial tiba-tiba saja dilabeli autis. Di sini kata autis mengalami penurunan makna, ada penekanan kesan abnormal di situ. ‘Autis’ tidak seperti ‘gila’ yang sudah biasa digunakan di luar ranah empiris medis dan psikologi.
Terang, ini membuat para pemeduli autis tersinggung. Autis tidak tepat dan tidak selayaknya digunakan sebagai olok-olokan dalam perspektif etika dan estetika. Etika, karena dalam tataran pemahaman autis sudah gagal dipahami secara benar. Asyik dengan dunia sendiri memang salah satu gejala autis, tapi ia bukan satu-satunya dan segalanya. Tidak layak secara estetis karena autis dibawa ke dalam ranah candaan bahkan olokan yang berpotensi menyakiti orang lain. Tetapi kalau pemakaian ini terus berkembang, suatu saat mungkin saja ‘autis’ menemukan arti yang lebih ‘sosial’, melampaui ruang empiris medis dan psikologi. [Nabilah]