Stadion Manahan Solo riuh, sesaat setelah Wahyu Wiji Astanto mengoyak jala Persiraja Banda Aceh, Rabu (25/5). Ditengah keriuhan itu, muncullah sosok yang eksentrik. Ia muncul mengenakan helm yang dihiasi dengan barang bekas berupa boneka, tempat minum ayam broiler, dan piala. Kemunculannya mampu menyedot perhatian sebagian suporter Persiba Bantul. Sosok eksentrik itu adalah Ngadiran (44), warga Jangkang, Sariharjo, Ngaglik, Sleman. Pria ini sampai di stadion Manahan dengan mengendarai sepeda kayuhnya. Tak kalah eksentrik, boncengan sepeda itu dihiasi dengan replika wanita berjilbab yang mengenakan helm. Selain itu, di badan sepeda terdapat boneka hewan, bola, bendera merah putih, kliping artikel tentang Persiba Bantul, dan kliping gambar artis cantik Indonesia. “Barang-barang yang ada di sepeda dan helm saya ini ada maknanya lho mas,” ungkapnya saat ditemui setelah pertandingan berakhir. Menurutnya, replika wanita berjilbab itu berarti seorang istri harus solehah dan setia pada suaminya. Sementara bola dan bendera merah putih melambangkan sportivitas dan nasionalisme. Sekilas, sosok Ngadiran terkesan sebagai suporter fanatik Persiba Bantul. Di sepedanya, tertempel kliping tentang Persiba Bantul, pun kaos merah dan syal Paserbumi ia kenakan. Namun ia menolak ketika disebut sebagai anggota Pasukan Suporter Bantul Militan (Paserbumi). “Saya bukan Paserbumi, Slemania, maupun Brajamusti. Semuanya saya dukung,” tegasnya. Kedatangannya ke Stadion Manahan adalah untuk membuktikan bahwa ia warga Jogja yang baik. “Sebagai warga Jogja, kita harus mendukung sportivitas,” tambahnya sambil tersenyum. Tidak hanya Persiba Bantul, Ngadiran juga selalu menonton partai yang dijalani PSS Sleman dan PSIM Yogyakarta. “Asal masih tanding di Jogja, Insya Allah saya sempatkan menonton,” akunya. Kebiasaannya itu membuatnya familiar di mata suporter ketiga klub tersebut. Ternyata, Ngadiran tidak hanya gemar menyaksikan pertandingan sepak bola. Setiap event di Jogja, seperti kebudayaan dan keagamaan juga kerap ia kunjungi, pun dengan event yang digelar di kampus. “Paling sering saya datang ke UGM,” akunya. Alasannya karena UGM dikenal sebagai kampus terbaik dan menjadi kebanggaan warga Jogja. Meskipun begitu, sistem Kartu Identitas Kendaraan (KIK) yang sekarang berlaku di UGM membuatnya kurang nyaman ketika memasuki kampus yang konon “kerakyatan” itu. “KIK itu disamping merugikan (karena harus membayar –red), juga tidak pernah dirembug dengan warga sekitar,” tukasnya. Ia berpesan, UGM seharusnya memperhatikan juga warga sekitar kampus dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan sosial. Setiap menyambangi event, Ngadiran selalu mengayuh sepeda eksentriknya. “Naik sepeda itu kan gratis, jadi kemana-mana saya nggak bayar,” tukasnya. Selain itu, menjaga kesehatan badan dan melestarikan lingkungan adalah alasan lainnya untuk selalu bersepeda. Meski mengendarai sepeda kayuh, aturan lalu-lintas yang diperuntukkan kendaraan bermotor selalu ditepati Ngadiran. Kemanapun pergi, helm yang dipasangi barang bekas itu selalu melindungi kepalanya. Baginya, helm juga wajib digunakan pengendara sepeda. Karena, kecelakaan lalu-lintas tidak hanya mengancam pengguna kendaraan bermotor. Ngadiran akan terus menyaksikan laga jika Persiba tetap menjunjung sportivitas dalam Indonesia Super League (ISL). Selain itu, ia berharap, Persiba menambah jumlah pemain lokal dan mempertahankan Syajuri Syahid musim depan. Jika harapan itu terjadi, kemanapun Persiba bertanding, Ngadiran akan terus mengayuh sepeda untuk menyaksikan laga klub yang bermarkas di stadion Sultan Agung tersebut. [Didik]